Sabda Hidup
Minggu, 11 September 2022, Minggu Biasa XXIV Tahun C
Bacaan: Kel. 32:7-11,13-14; Mzm. 51:3-4,12-13,17,19; 1Tim. 1:12-17; Luk. 15:1-32
“Anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”
(Luk 15: 24)
Seorang misionaris di kepulauan Pasifik terkejut ketika seorang perempuan masuk ke pondoknya menggenggam pasir di kedua tangannya. Air masih menetes dari pasir itu. “Pastor tahu apa ini?” ia bertanya. “Sepertinya itu pasir,” jawab misionaris itu. “Ya, inilah dosa-dosa saya,” jawab perempuan itu, “Dosa-dosa saya sebanyak pasir di pantai, tak terhitung banyaknya. Bagaimana mungkin saya mendapatkan pengampunan atas semua dosa saya itu?” “Baiklah,” jawab misionaris itu. “Kamu mengambil pasir itu di pantai bukan? Kembalilah ke pantai. Dan kumpulkanlah, timbunlah pasir sebanyak-banyaknya. Lalu duduklah dan perhatikan, ombak datang membasuh timbunan pasir itu, perlahan tapi pasti, hingga semuanya hanyut ditelan air laut. Begitulah pengampunan Tuhan. Kerahiman-Nya seluas laut.”
* * * *
Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini mengajar kita tentang kerahiman dan pengampunan Allah yang berlimpah ruah.
Kita mendengar dari bacaan pertama, sementara Musa berada di puncak Gunung Sinai, umat terpilih justru bertindak sesat. Mereka membuat bagi mereka patung anak lembu, menyembah dan memberi persembahan kepada berhala itu, menganggap berhala itu yang telah membawa mereka keluar dari tanah perbudakan Mesir. Tentu Allah murka memandang semuanya itu. Allah sudah siap untuk memusnahkan mereka. Tetapi Musa memohon belas kasih, kerahiman dan pengampunan YHWH bagi umat yang durhaka itu. YHWH mendengar permohonan Musa dan mengubah rencana-Nya untuk memusnahkan umat-Nya.
Kita juga mendengar dari bacaan kedua, bagaimana kerahiman dan pengampunan Allah mengubah Saulus. Karena kerahiman Allah, Saulus yang semula adalah “seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi telah dikasihani-Nya” (1 Tim 1: 13) dan diubah menjadi “menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal,” (1 Tim 1: 16).
Bacaan Injil juga dengan jelas berbicara tentang kerahiman dan pengampunan Allah. Dengan perumpamaan tentang “anak domba yang hilang”(Luk 15: 4 – 7), “dirham yang hilang” (Luk 15: 8 – 10), dan “anak yang hilang” (Luk 15: 11 – 32), Yesus mengajar tentang belas kasih Allah yang berlimpah-ruah. Banyak pemungut cukai dan para pendosa datang kepada Yesus. Hal itu menjadi skandal bagi para Farisi dan Ahli Taurat. Mereka bersungut-sungut karena Yesus “menerima orang-orang berdosa dan makan bersama mereka,” (Luk 15: 2).
Mari kita renungkan secara khusus perumpamaan tentang anak yang hilang. Perumpamaan itu diawali dengan suatu “permintaan” si anak bungsu kepada bapanya: “Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku,” (15: 12). Di sini kita mendapat gambaran awal tentang dosa. Dosa selalu menyangkut atau melibatkan penyalahgunaan sesuatu yang baik. Misalnya, misalnya kita jatuh dalam dosa dengan gossip, memaki, berbohong, dengan menyalahgunakan karunia Tuhan yang baik, yaitu kemampuan untuk berbicara. Dosa kedagingan muncul ketika orang menyalahgunakan anugerah seksualitas, sesuatu yang baik yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita. Apa yang diminta oleh anak bungsu dalam perumpamaan kita hari ini juga merupakan hal yang baik. Ia tidak meminta sesuatu yang buruk. Ia tidak meminta sesuatu yang jahat. Ia meminta sesuatu yang baik, yang memang menjadi haknya, yang memang sejak semula direncanakan oleh bapanya untuk diberikan kepadanya. Dosa timbul ketika ia menyalahgunakan pemberian yang baik itu dan “memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.”
Hal berikut yang menarik dalam perumpamaan itu adalah bahwa si anak bungsu berfoya-foya “di negeri yang jauh”. Ketika orang berbuat dosa, ia biasanya lari dari Bapa di surga. Ia menjauh, seperti anak bungsu itu lari dari bapanya ke negeri yang jauh. Ketika kita berbuat dosa, kita juga menjauh, memisahkan diri. Kita melakukan segala usaha untuk menyembunyikan perbuatan dosa itu, berusaha agar tak seorangpun mengetahuinya. Akan tetapi kita sering tidak menyadari bahwa dosa-dosa itu akan tetap mengejar-ngejar kita, seperti dosa-dosa itu mengejar dan menguasai si bungsu. Ia menghabiskan semuanya hingga bencana kelaparan dan kemelaratan menjeratnya, hingga ia tak mempunyai apapun untuk dimakan. Bahkan ia ingin makan ampas yang menjadi makanan babi-babi.
Ada satu hal lagi yang nampak dalam perumpamaan itu. Dosa memperbudak. Misalnya, ketika seorang mulai kecanduan minum minuman keras, pada awalnya ia menikmatinya, ia minum dengan bebas, tetapi ketika ia sampai pada titik di mana ia kehilangan kendali, ia tidak dapat berhenti. Demikian juga ketika orang berbuat dosa, ia berbuat dengan bebas, tetapi ketika ia tidak ingat lagi untuk berbalik, dosa itu menguasainya dan ia akan tiba pada titik di mana ia diperbudak oleh dosa.
Puji Tuhan bahwa pada akhirnya si anak bungsu itu “menyadari keadaannya”. Ia mulai bertobat. Perhatikan bahwa mula-mula pertobatan itu mulai dari penyesalan luaran. Gereja menyebutnya “penyesalan yang tak sempurna”. Penyesalan yang tak sempurna itu terjadi ketika kita menyesal atas dosa-dosa kita karena kita takut atau khawatir akan akibatnya, misalnya siksa neraka. Penyesalan dan pertobatan yang sempurna terjadi ketika kita menyesal atas dosa-dosa kita karena kita menyadari bahwa kita telah melukai hati Bapa di Surga yang kita kasihi melebihi segalanya. Namun, meski pertobatan itu mulai dari motivasi yang dangkal, Bapa tetap mengampuni. Bapa kita di surga pun tetap akan mengampuni dosa kita, sebesar apapun dosa kita, jika kita mengakuinya dengan jujur dan tulus.
Sesudah diampuni, anak yang durhaka itu boleh bergabung lagi dalam “perjamuan” keluarga. Sama dengan kita, ketika kita hidup dalam dosa berat, kita tidak boleh menerima komuni, sampai kita pergi mengaku dosa dan menyesal dengan sungguh-sungguh.
Dosa itu pertama-tama melukai persatuan kita dengan Allah. Akan tetapi pada saat yang sama, dosa juga merusak kesatuan kita dengan Gereja. Karena itulah pertobatan mencakup baik perngampunan Allah maupun rekonsiliasi dengan Gereja, yang diungkapkan dengan mengaku dosa di hadapan iman. Tak jarang orang berpikir bahwa dosa itu hanya menyangkut hubungan pribadi denggan Allah sehingga cukup mengaku dosa kepada Allah saja. Tidak demikian! Dosa juga melukai kesatuan kita dengan Gereja. Maka pertobatan perlu dinyatakan dengan mengaku dosa kepada imam yang bertindak “in persona Christi” dan pengakuan dosa itu tidak hanya memulihkan hubungan kita dengan Tuhan tetapi juga hubungan kita dengan Tubuh Mistik Kristus yakni Gereja. Untuk hal ini lihat di sini: Mengapa Mengaku Dosa kepada Seorang Imam.
Mari berdoa hari ini, agar kita selalu percaya akan Bapa yang berbelas kasih dan maharahim, yang senantiasa menantikan kita untuk bertobat. Marilah kita hidup sebagai anak-anak Bapa yang berbelas kasih. Pada saat yang sama, mari kita menghidupi semangat pengampunan itu dalam hidup kita bersama orang lain. Kita juga berusaha untuk membawa saudara-saudari yang telah menjauh untuk kembali dalam persekutuan dengan Allah dan Gereja.