Remah Harian

YANG TERBESAR

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Minggu, 5 November 2023, Minggu Biasa XXXI Tahun A
Bacaan: al. 1:14b-2:2b,8-10Mzm. 131:1,2,31Tes. 2:7b-9,13Mat. 23:1-12.

Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.”

(Mat 23: 11)

Tiga orang ibu sedang ngerumpi. Mereka sedang membicarakan anak-anak mereka dengan bangga. Ibu yang pertama bilang: “Anak saya baru saja diangkat jadi Vikjen. Jadi setiap orang sekarang menyapa Yang Terhormat Romo Vikjen…..” Ibu yang kedua juga membanggakan anaknya. “Wah, anak saya malah dipilih jadi Uskup. Jadi semua orang menyapanya Yang Mulia…” Ibu yang ketiga mulai berpikir, koq pada membanggakan anak-anak mereka yang punya jabatan tinggi ya…. Lalu ia bilang, “kalau anak saya sih waktu di pendidikan kurang cemerlang. Tapi sekarang dia jadi pastor yang disayangi sama umatnya. Karena terlalu disayang, diberi makan yang enak-anak, perutnya jadi gendut. Karena saking gendutnya setiap orang yang melihatnya bilang, “Ya Tuhan….” Hehehe….

Sampai sekarang para pemimpin gereja tetap disebut dengan “gelar” kehormatan. Seorang imam dipanggil Bapa, Pater, Romo. Pemimpin komunitas religius disebut “superior”; Bapa Uskup disapa “Yang Mulia”; dan malahan Paus disebut “Bapa Suci”. Orang mungkin bertanya… apakah itu tidak berlawanan dengan yang kita baca dalam Injil hari ini?

“Janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias,” (Mat 23: 8 – 10).

Tentu apa yang dikatakan oleh Yesus bukan untuk dimengerti secara harafiah. Yesus berbicara lebih tentang sikap dan perilaku, bukan soal terminologi atau istilah. Kalau Yesus hanya berbicara tentang istilah, nanti kita tidak dapat menyebut ayah kita Bapa, atau Abah, atau Bokap…

Jelas, tidak ada yang salah tentang sebutan kehormatan dan jabatan. Yang tidak benar adalah bahwa otoritas digunakan semata-mata untuk kemuliaan dan kepentingan pribadi tanpa memperhatikan pelayanan yang rendah hati kepada banyak orang. Apa yang dikecam bukanlah otoritas tapi otoritarianisme. Pesan Injil adalah peringatan yang jelas bagi para pemimpin tentang bagaimana melayani. Yang terbesar adalah yang melayani!

Namun, itu berlaku juga bagi kita. Apakah kita terlalu mencari pencitraan, selalu berusaha untuk “terlihat baik” di mata orang lain? Kita tidak mengutamakan Tuhan yang melihat yang tersembunyi tapi terlalu peduli dengan prestise pribadi kita. Bukankah kita merasa senang kalau orang memperlakukan kita sebagai orang istimewa? Apa tanggapan anda apabila seorang uskup atau imam tampil sebagai selebriti?

Apa warta Sabda Tuhan bagi kita hari ini?

Kita perlu menjadi pemimpin-pemimpin yang melayani di dalam sebuah komunitas yang melayani: Gereja adalah sebuah komunitas para pelayan di mana mereka yang lapar harus diberi makan, mereka yang tidak tahu harus diajar, mereka yang tidak memiliki tempat tinggal harus diberi tempat berlindung, mereka yang sakit harus dirawat, mereka yang tertekan harus dihibur, dan mereka yang tertindas harus dibebaskan, agar mereka dapat lebih sepenuhnya menyadari potensi kemanusiaan mereka dan lebih siap untuk menikmati hidup bersama Allah. Oleh karena itu, para pemimpin harus memiliki semangat pelayanan yang rendah hati dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. “Ukuran seorang Kristen sejati bukanlah seberapa banyak pelayan yang ia miliki, tetapi seberapa banyak orang yang ia layani.”

Kita perlu menghidupi Iman yang kita anut. Orang-orang yang beragama terlalu sering menjadi seperti orang-orang Farisi dan ahli Taurat: meletakkan beban berat di pundak orang lain tanpa mengangkat satu jari pun untuk menolong mereka. Alih-alih menghakimi orang miskin, kita seharusnya melayani mereka melalui upaya kita untuk keadilan ekonomi. Alih-alih mengkritik mereka yang berasal dari ras lain, kita seharusnya melayani mereka melalui upaya kita untuk keadilan rasial. Alih-alih mengabaikan para tunawisma, kita seharusnya melayani mereka melalui upaya-upaya untuk menyediakan tempat tinggal yang layak bagi mereka. Kita perlu menghidupi Iman yang kita anut. Iman kita mengatakan bahwa kita semua adalah saudara dan saudari, anak-anak dari Bapa Surgawi yang sama. Satu-satunya cara bagi kita untuk mempraktikkan Iman kita adalah dengan membangun sebuah komunitas manusia yang penuh kasih dan keadilan.

Kita perlu mempelajari seni untuk memeriksa diri sendiri, dan menerima tanggung jawab yang menyertai jabatan-jabatan kita. Daripada mengkritik orang lain atas kegagalan mereka, marilah kita bertanya apakah kita berbeda dengan mereka dalam melaksanakan tugas kita dalam keluarga dan komunitas paroki. Marilah kita ingat bahwa jabatan kita seharusnya mengingatkan kita akan tanggung jawab khusus kita di dalam masyarakat dan kewajiban kita untuk melaksanakannya dengan setia.

Tuhan, semoga kami semakin serupa dengan Dikau, yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa untuk membebaskan banyak orang. Amin.

Author

1 Comment

Write A Comment