Sabda Hidup
Selasa 14 Desember 2021, Selasa Pekan Advent III, Peringatan Wajib St. Yohanes dari Salib
Bacaan: Zef. 3:1-2,9-13; Mzm. 34:2-3,6-7,17-18,19,23; Mat. 21:28-32
“Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga. Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?”
(Mat 21: 29 – 31a)
Samuel Taylor, seorang penyair dari Inggris pernah menulis: “Jika seorang tidak sedang naik ke atas menjadi seorang malaikat, maka ia sedang turun menuju ke bawah menjadi setan.”
Ungkapan itu mengingatkan kita bahwa kita sering berubah, entah menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk. Kutipan Injil hari ini adalah contohnya. Perumpamaan dalam Injil hari ini serupa dengan perumpamaan tentang Bapa yang Baik Hati. Kedua perumpamaan mengisahkan dua anak. Dan dalam Iinjil hari ini, si anak sulung mengatakan ya, akan pergi, tetapi tidak pergi, menggambarkan para pemimpin Yahudi yang dalam mulut menyombongkan diri akan kasih mereka kepada Allah dengan melakukan hukum Musa secara ketat. Pada awalnya bagus, tetapi berakhir buruk karena dalam proses pelaksanaannya mereka gagal menghidupi semangat cinta dan belas kasih. Sedangkan anak yang kedua, menggambarkan mereka yang dianggap berdosa dalam masyarakat Yahudi, terlebih para pemungut cukai dan para pelacur yang pada awalnya hidup dalam dosa tetapi pada akhirnya hidup mereka lebih baik/dibenarkan karena bertobat.
Kedua perumpamaan ini adalah pralambang. Kedua anak menyodorkan kepada kita dua macam orang dan mengajukan pertanyaan kepada kita, anak yang mana yang menggambarkan diri kita? Apakah kita seperti anak kedua, yang bergerak semakin dekat kepada Allah dalam hidup kita atau kita seperti anak pertama yang semakin hari justru semakin menjauh dari Allah.
Perumpamaan tentang kedua anak ini menggambarkan juga tanggapan kita terhadap kehendak Allah. Ketika kita melaksanakan kehendak-Nya, kita akan menjadi orang yang benar dan kudus. Itu dinyatakan dengan menerima Yesus. Menerima Yesus itu lebih dari sekadar menerima jalan-Nya yang benar yakni mengikuti Hukum (Ayub 24: 13; Amsal 8: 20). Menerima Yesus adalah berkata “YA” kepada Allah setiap saat.
Kita juga sadar bahwa karena kelemahan kita, tidak jarang kita berkata “tidak” terhadap perintah Bapa. Akan tetapi karena kasih-Nya yang berlimpah ruah, jawaban “tidak” itu bukanlah jawaban final. Kita bisa mengubah jawaban itu menjadi “ya”. Selalu ada kesempatan kedua. Kardinal John Henry Newman pernah berkata: “To live is to change. To be perfect is to have changed often.”
Suatu ketika St. Ignatius Loyola berkata kepada seorang sahabatnya: “Misalkan Allah memberimu pilihan, naik ke surga sekarang ini juga atau tinggal di bumi dengan kesempatan melakukan sesuatu untuk kemuliaan-Nya, mana yang akan engkau pilih?” “Tentu saja naik ke surga sekarang ini juga,” jawab sahabatnya. “Baiklah,” kata Ignatius. “Kalau bagiku, aku akan memilih tetap tinggal di bumi, untuk melakukan kehendak Allah. Soal keselamatan jiwaku, aku yakin, itu adalah urusan-Nya. Saya yakin, Dia tidak akan membiarkan seseorang yang mengasihi-Nya dan rela menunda saatnya masuk surga binasa.”
Pepatah Arab berkata: “Jika kamu ingin tidak mematuhi Allah, carilah tempat di mana Dia tidak dapat melihatmu.”