Obet

WAJAH ALLAH

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Jumat, 29 Oktober 2021, Jumat Pekan Biasa XXX
Bacaan: Rm. 9:1-5; Mzm. 147:12-13,14-15,19-20; Luk. 14:1-6.

“Pada suatu hari Sabat Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin dari orang-orang Farisi untuk makan di situ. Semua yang hadir mengamat-amati Dia dengan saksama. Tiba-tiba datanglah seorang yang sakit busung air berdiri di hadapan-Nya. Lalu Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu, kata-Nya: “Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?” Mereka itu diam semuanya. Lalu Ia memegang tangan orang sakit itu dan menyembuhkannya dan menyuruhnya pergi.”

(Luk 14: 1 – 4).

Suatu kali Obet sedang berada di pinggir sumur bersama dengan kakeknya. Entah mendapat ilham dari mana, Obet bertanya kepada kakeknya: “Kakek, Tuhan Allah pu muka itu macam apa kah?” Mendengar pertanyaan Obet, Kakek bilang: “Obet, coba ko lihat dalam sumur sana eh….” Maka Obet melongok ke dalam sumur yang jernih airnya itu. “Mana Kek? Kenapa sa lihat sa pu muka sendiri?” Kakek menjawab: “Nah, seperti itu Tuhan Allah pu muka.” “Kalau kakek yang lihat ke dalam sumur, Tuhan pu muka juga macam Kakek?” “Iya,” jawab Kakek. “Sebab kita diciptakan segambar dengan Allah.” Lalu kakek menyambung: “Jadi, ko harus hargai orang lain seperti ko juga hargai diri sendiri, karena kitorang diciptakan segambar dengan Tuhan Allah.”

Orang yang menderita busung air dalam kisah Injil hari ini (Luk 14: 1 – 6) nampaknya sengaja dihadapkan dengan Yesus saat datang untuk makan di rumah salah seorang pemimpin Farisi, untuk menjebak Dia, sebab sejak awal para Farisi itu mengamat-amati Dia dengan seksama. Jadi orang sakit itu dijadikan umpan untuk menjebak Yesus apakah Ia akan menyembuhkan di hari Sabbat atau tidak. Yesus sendiri nampaknya tidak masalah masuk dalam jebakan itu. Dengan segera Ia menyembuhkan orang itu. Ketika orang-orang Farisi itu tidak menghargai orang itu, Yesus menghargainya, memulihkan martabatnya dengan menyembuhkannya.

Atas nama hukum Tuhan, orang-orang beragama, seperti para Farisi itu, terkadang tidak menghormati orang yang berkebutuhan. Yesus menunjukkan bentuk otentik hidup beragama, yakni memperlakukan orang lain dengan hormat yang layak, menghargai martabat mereka sebab mereka diciptakan menurut gambar Allah dan berharga di hadapan Allah.

Kita pun dicipta menurut gambar Allah. Maka seharusnya, wajah kita menampilkan wajah Allah. Banyak di antara kita mungkin pernah membaca ‘Misericordiae Vultus’ (Wajah Kerahiman). Ini merupakan Bulla atau Maklumat pencanangan Tahun Kerahiman dari Paus Fransiskus yang dikeluarkan pada tanggal 11 April 2015 lalu. Pada bagian paling awal dari Bulla ini, Paus menulis: “Yesus Kristus adalah wajah kerahiman Bapa. Kata-kata ini bisa dengan baik merangkum misteri iman Kristiani. Kerahiman telah menjadi hidup, nampak dan mencapai puncaknya dalam Yesus dari Nazaret.” (MV,1). Tentu saja kata-kata Paus ini meneguhkan iman kita kepada Allah Yang Maharahim dalam diri Yesus Kristus Putera-Nya sebagai yang menampakkan Wajah Kerahiman Allah sendiri. Perikope Injil hari ini menegaskan kehadiran Yesus sebagai Wajah Kerahiman Allah.

Bagaimana dengan kita? Apakah kehadiran kita di manapun juga menampakkan wajah kerahiman Allah? Apakah kita rajin berdoa, beribadah dan menghadiri misa, tapi tidak bisa memaafkan? Barangkali kita adalah anggota persekutuan doa ini dan itu namun berlaku kasar dan tidak adil? Apakah saya menghargai sesama?

Author

Write A Comment