Sabda Hidup
Rabu, 4 November 2020, Rabu Pekan Biasa XXXI, Peringatan Wajib St. Carolus Borromeus
“Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
(Luk 14: 26 – 27).
Dalam bukunya, At Life’s Close, Nathan C. Schaeffer mengatakan bahwa pada akhir hidup, pertanyaan yang diajukan kepada kita:
- bukan berapa banyak yang engkau dapatkan, tetapi berapa banyak yang telah engkau berikan;
- bukan berapa banyak yang engkau menangkan, tetapi berapa banyak yang telah engkau lakukan;
- bukan berapa banyak yang telah engkau simpan, tetapi berapa banyak yang telah engkau korbankan;
- berapa banyak engkau telah mengasihi dan melayani, bukan berapa banyak engkau dihormati.
Yesus menghadapkan kepada kita tuntutan untuk mengikuti-Nya, tuntutan kemuridan. Kemuridan menuntut komitmen yang bebas dan total. Kita harus tahu apa yang kita hadapi. Sumber kepercayaan apa atau zona nyaman apa yang harus kita tinggalkan untuk dapat mengikuti Yesus secara total? Semoga kita bisa juga melepaskan karena cinta dan demi cinta.
St. Carolus Borromeus
Hari ini kita juga memperingati St. Carolus Borromeus (Italia: Carlo Borromeo) yang adalah seorang Kardinal dan Uskup Agung Milan pada 1564-1584. Dia adalah salah satu dari para reformis besar Gereja pada masa kekacauan di abad keenam belas. Karolus Borromeus, bersama St.Ignatius Loyola, St Filipus Neri, dan lain-lain, memimpin gerakan untuk membendung pengaruh Reformasi Protestan. Dia adalah seorang tokoh terkemuka selama Kontra-Reformasi berlangsung dan ia bertanggung jawab untuk Reformasi internal Gereja yang signifikan dalam tubuh Gereja Katolik, termasuk pendirian seminari-seminari untuk meningkatkan mutu pendidikan para imam.
Karolus lahir pada tanggal 2 Oktober 1538 dalam sebuah Kastil megah di Aron Novara, Italia. Ayahnya adalah Gilberto Borromeo, Count of Arona dan ibunya bernama Margherita de’ Medici. Sama seperti para pemuda ningrat Italia lainnya, ia hidup serba berkecukupan. Tetapi, tidak seperti kebanyakan dari mereka, ia tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang mengundang dosa seperti pesta-pora yang sering dilangsungkan di Kastil para bangsawan pada masa itu.
Sejak kecil Carolus sudah bercita-cita untuk menjadi seorang biarawan. Karena itu pada usia yang sangat muda ia sudah masuk seminari. Di sekolah; awalnya Karolus terkesan sebagai murid yang lamban karena ia tidak dapat berbicara dengan lancar, tetapi ketekunannya membuat ia memperoleh kemajuan yang menggembirakan.
Masa itu adalah masa yang amat kelam dalam Sejarah Gereja. Hidup keagamaan umat amat memprihatinkan. Banyak anak tidak mengenal Tuhan, bahkan mulai berdoa dengan membuat tanda salib saja tidak bisa. Gereja-gereja sepi dari kunjungan umat, bahkan ada gereja yang diubah menjadi toko atau bangsal pesta. Kehidupan iman umat kristiani sudah sangat merosot. Berbagai perpecahan dalam tubuh Gereja semakin kuat. Gereja dihadapkan pada Reformasi Protestan. Gelombang protes terhadap kebijakan-kebijakan Gereja berkecamuk deras.
Carolus muda yang saat itu usianya baru dua puluh dua tahun dipanggil pamannya, Paus Pius IV, ke Roma dan diminta untuk melaksanakan banyak tugas penting. Pada tanggal 31 Januari 1560 Carolus diangkat menjadi kardinal dan pada 7 Februari tahun yang sama ia ditunjuk menjadi Administrator Keuskupan Milan. Ia baru ditahbiskan menjadi diakon pada 21 Desember 1560, dan ditahbiskan imam 4 September 1563, dan ditahbiskan menjadi uskup pada 7 Desember 1563. Ia juga menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan dan menjadi anggota Kuria Romana. Tugas utamanya adalah mengurus permasalahan Gereja yang paling penting.
Paus meminta Santo Carolus untuk mempersiapkan Konsili Trente dan sekaligus menjadi wakil dari Tahta Suci pada saat konsili itu berlangsung. Carolus berhasil menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Setelah Konsili Trente, Carolus menjadi tokoh yang sangat getol dalam usaha mengaplikasikan keputusan-keputusan konsili tersebut ke dalam kehidupan umat. Ia bahkan mengajukan surat pengunduran diri kepada paus agar ia dibebaskan dari tugasnya di Kuria Roma agar ia bisa lebih memiliki waktu untuk memperbaharui kehidupan iman umat di keuskupannya, Milano.
Di Milan; Kardinal Carolus menjadi suri teladan bagi umatnya. Ia menyumbangkan sejumlah besar uang kepada kaum miskin. Ia sendiri hanya memiliki sehelai jubah lusuh berwarna hitam. Tetapi, di hadapan umum, ia berpakaian seperti layaknya seorang kardinal. Ia ambil bagian dalam upacara-upacara Gereja dengan penuh hormat dan wibawa.
Dalam melaksanakan tugas pengembalaannya yang penuh kesibukan, Kardinal Carolus senantiasa cemas kalau-kalau ia bisa semakin jauh dari Tuhan karena banyaknya godaan di sekelilingnya. Oleh sebab itulah, setiap memiliki waktu luang ia selalu berlatih menyangkal diri terhadap segala kesenangan dan senantiasa berusaha untuk rendah hati serta sabar.
Penduduk kota Milan awalnya mempunyai banyak kebiasaan buruk dan percaya pada banyak takhayul. Namun dengan peraturan-peraturan yang bijaksana, dan dengan kelemah lembutan serta kasih sayang, dan dengan teladan hidupnya sendiri yang mengagumkan, St. Karolus menjadikan keuskupannya teladan bagi Reformasi Gereja seluruhnya. Sungguh mengagumkan mengingat Ia adalah seorang yang gagap dan tidak pernah dapat berbicara dengan lancar. Umat hampir-hampir tidak dapat mendengarkannya; namun demikian setiap kata-kata yang diucapkannya sangat berwibawa dan membawa pengaruh yang sangat besar bagi setiap mereka yang mendengarnya.
Ketika suatu wabah ganas menyerang dan mengakibatkan banyak kematian di Milan, Kardinal Borromeus tidak memikirkan hal lain kecuali merawat umatnya. Ia berdoa dan bermatiraga dengan keras. Ia membentuk kelompok-kelompok umat yang membantunya membagikan makanan bagi mereka yang kelaparan. Ia bahkan mendirikan altar di jalan-jalan agar orang-orang yang sakit dan sekarat itu dapat ikut ambil bagian dalam Perayaan Ekaristi lewat jendela rumah mereka.
Orang suci ini tidak pernah terlalu sibuk untuk menolong rakyat sederhana. Suatu ketika ia menghabiskan waktunya untuk menemani seorang bocah penggembala hingga bocah tersebut dapat berdoa Bapa Kami dan Salam Maria. Menjelang ajalnya, pada usia empat puluh enam tahun, St. Karolus dengan tenang dan damai berkata, “Lihat, aku datang!”. Dan ia pun wafat pada tanggal 03 November 1584 dan dinyatakan kudus oleh Paus Paulus V pada tahun 1610.
Bacaan Misa hari ini: Flp. 2:12-18; Mzm. 27:1,4,13-14; Luk. 14:25-33.