Sabda Hidup
Minggu, 5 September 2021, Minggu Biasa XXIII – Minggu Kitab Suci Nasional
Ketika masih seminaris, pada rekoleksi bulanan biasanya kami mengaku dosa. Dan saat mengaku dosa, banyak yang berlomba-lomba mengaku dosa kepada seorang imam yang sudah tua. Kami pikir, imam tua itu pasti sudah kurang bagus pendengarannya, sehingga tidak terlalu pusing dengan dosa-dosa yang kami akukan dan akan memberi absolusi begitu saja. Hingga suatu hari, seperti biasa banyak yang mengantri untuk mengaku dosa kepadanya. Ketika salah satu seminaris mengaku dosa, imam tua itu tidak mendengar dengan baik apa yang diakukan. Maka dengan suara keras dia bertanya: “Apa? Mencuri? Minum anggur di sakristi?” Maka semua mulai berpikir…. “Wah kalau begini semua rahasia dapat didengar dari luar kamar pengakuan….” Maka satu persatu yang tadinya mengantri pindah ke kamar pengakuan yang lain…. Hehehe….
* * * *
Kebanyakan orang merasa terganggu dengan orang yang tuli. Kehadiran orang yang buta atau lumpuh lebih mudah diterima daripada orang yang tuli. Orang yang bisu-tuli mempunyai kesulitan dalam berelasi dengan orang lain. Akibatnya, orang yang tuli cenderung menghindari banyak orang dan perlahan-lahan menutup diri. Dia perlahan-lahan tersingkir. Yesus tersentuh oleh situasi yang dialami oleh seorang yang tuli dan gagap dalam Injil hari ini. Belas kasih-Nya nampak dalam cara Ia menyembuhkannya. Injil mengatakan bahwa Ia memisahkan orang itu dari orang banyak, menunjukkan kepekaan-Nya terhadap situasi yang dapat dapat membuat orang yang tuli itu malu.
Sahabat, sering kali kita lupa bersyukur bahwa kita mampu berbicara dan mendengar. Sering kali semua itu hanya taken for granted.
Sala satu cara bersyukur atas kemampuan kita berbicara dan mendengar adalah dengan tidak menyalahgunakannya. Bukankah sering kali kita menyalahgunakan anugerah itu dengan berbohong, dengan fitnah, atau dengan merusak reputasi dan nama baik orang lain dengan pernyataan-pernyataan palsu, atau dengan menceriterakan kesalahan orang lain, dengan gossip.
Ada cerita tentang St. Philippus Neri yang memberi penitensi kepada seorang penggosip dengan menyuruhnya berkeliling kampung sambil mencabuti bulu ayam dan melemparkannya ke udara. Setelah orang itu kembali, ia memerintahkannya untuk mengumpulkan bulu-bulu itu. “Bapa, itu tidak mungkin dapat dilakukan!” kata orang yang mengaku dosa itu. “Bulu-bulu itu sudah diterbangkan oleh angin entah ke mana…” St. Phuilippus Neri menjawab, “Seperti itu lah setiap kali engkau menyebarkan fitnah tentang sesama.” Gossip yang menghancurkan telah tersebar, tak dapat ditarik kembali.
Gagap atau bisu dan tuli tidak hanya secara fisik. Di sekitar kita ada begitu banyak orang yang gagap dan tuli secara sosial. Merekalah orang-orang yang tak punya suara, mereka yang tidak didengarkan. Seperti Yesus membuka telinga dan ikatan lidah orang tuli dan gagap dalam Injil, semoga Ia juga membuka telinga dan lidah kita, agar kita mampu mendengarkan saudara-saudari kita yang mengalami kesulitan dan mampu menyuarakan mereka yang tak bersuara.
Terlebih lagi kita juga sering mengalami tuli dan gagap rohani ketika kita tidak mendengarkan atau sengaja tidak mau mendengarkan suara Tuhan dan mewartakan sabda-Nya dalam perkataan dan tingkah laku kita. Pada hari Minggu Kitab Suci Nasional ini kita dajak untuk semakin mencintai Kitab Suci dengan semakin rajin membaca Sabda Tuhan, meresapkannya dalam hati dan menerapkannya dalam hidup. Sabda Tuhan adalah cahaya terang dan petunjuk arah bagi perjalanan hidup kita. Jika kita mau mendengarkan, membaca, dan menaati Sabda-Nya, maka sudah dapat dipastikan bahwa kita berjalan di arah yang benar, arah yang membawa keselamatan.
Tuhan, bukalah telingaku untuk sungguh-sungguh mendengarkan Engkau dan bukalah mulutku untuk memuji dan memuliakan Dikau. Bukalah hatiku agar mampu berbelas-kasih seperti Engkau.
Bacaan hari ini: Yes. 35:4-7a; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; Yak. 2:1-5; Mrk. 7:31-37.