Sabda Hidup
Senin, 11 Juli 2022, Senin Pekan Biasa XV, Peringatan Wajib St. Benediktus
Bacaan: Yes. 1:11-17; Mzm. 50:8-9,16bc-17,21,23; Mat. 10:34-11:1
“Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.”
(Mat 10: 34)
Seorang penulis pernah mengatakan, “85% setia bukanlah kesetiaan sama sekali. Tak ada loyalitas sambilan kepada Yesus Kristus.” Kesetiaan kita kepada Yesus bukan hanya “part time”.
Dalam Injil hari ini Yesus bersabda, “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Apa yang dikatakan Yesus ini terdengar seperti suatu kontradiksi. Dalam bagian yang lain dari Kitab Suci Kristus menjanjikan damai: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu,” (Yoh 14: 27). Ia juga disebut Raja Damai. Pada saat kelahiran-Nya, malaikat-malaikat bernyanyi, “damai sejahtera di bumi di antara semua manusia yang berkenan kepada-Nya“ (Luk 2: 14). Ia pun mengutus para rasul untuk menyatakan damai ke dalam rumah yang mereka masuki (Mat 10: 12). Setelah bangkit, Ia pun memberikan Damai kepada para murid. Tetapi dalam kutipan dari Injil Matius hari ini Ia mengatakan: Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Koq gitu?
Sebenarnya, Yesus menuntut para murid-Nya, termasuk kita, untuk mempersembahkan diri kita sepenuhnya kepada-Nya. Ia mengingatkan akan keseriusan kita dalam menjalin relasi dengan-Nya. Ia meminta kita untuk membuat pilihan yang paling fundamental dalam hidup kita. Mengikuti Kristus itu tidak bisa setengah-setengah dan “panas-panas tahi ayam.” Kita harus memilih, hidup bagi Dia, atau melawan Dia. Dengan itu Ia menantang kita yang sering kali mengasihi-Nya namun masih terikat pada kenyamanan dan cinta diri.
Hari ini kita memperingati St. Benediktus, Abbas. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga bangsawan yang kaya raya. Jika ia mementingkan kenyamanan dan cinta diri, tentu ia tidak akan meninggalkan keluarganya yang kaya raya. Tumbuh dewasa sebagai seorang pemuda, Benediktus merasa muak dengan gaya hidup korupsi para kafir di Roma. Maka ia meninggalkan kota Roma dan mencari suatu tempat terasing di mana ia dapat menyendiri bersama Tuhan. Kasihnya yang total kepada Tuhan menuntunnya untuk menghayati hidup yang diwarnai dengan tapa dan matiraga, sambil tetap tekun bekerja dengan tekun.
Mari kita renungkan hari ini, bagaimana kita mengikuti Yesus. Apakah kita siap dan mau mengikuti-Nya dengan segala konsekuensinya? Atau kita berkompromi dengan kenyamanan dan cinta diri?