Sabda Hidup
Jumat, 24 Juli 2020, Jumat Pekan Biasa XVI
“Dengarlah arti perumpamaan penabur itu……. Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat.” (Mat 13: 18. 23).
Sepasang suami-isteri dengan dua anaknya menghampiri saya sesudah misa. Mereka memperkanalkan diri kepada saya. Kemudian si isteri mengatakan bahwa saya yang memberkati perkawinan mereka 11 tahun yang lalu. Saya mencoba mengingatnya walau hanya sedikit bayangan yang muncul. Mungkin tahu kesulitan saya mengingatnya, ia mencoba meyampaikan hal lain yang dapat membantu saya mengingatnya: “Romo, saya ingat Romo mengatakan dalam homili bahwa perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan merupakan gambaran kasih Kristus kepada Gereja.” Tentu yang dimaksudkan adalah kata-kata St. Paulus. Tetapi, tetap saja saya tidak dapat benar-benar mengingat mereka.
Walau demikian, saya bahagia karena 2 alasan. Pertama, karena kami dapat bertemu kembali setelah sekian tahun; kedua, mereka mengingat sesuatu dari sabda Tuhan dan menyimpannya dalam hati. Berarti benih sabda itu jatuh pada tanah yang subur. Dengan sabda Tuhan yang tertanam itu, mereka telah 11 tahun membangun keluarga, dan semoga tetap akan berlangsung 25 tahun, 50 tahun, 60 tahun….
Tuhan tetap menaburkan sabda-Nya, entah di mana sabda itu jatuh. Kita perlu jujur mengakui, jenis tanah seperti apakah kita ini. Kalau kita melihat kembali hidup kita, kita dapat melihat keempat jenis tanah itu dalam hidup kita. Ada saat-saat ketika Allah menabur benih sabda-Nya dan jatuh di pinggir jalan kehidupan kita, sebab kita tidak jarang ikut arus godaan si jahat. Ada saat benih sabda-Nya jatuh di hati yang berbatu-batu dan tanahnya tipis, sebab meski kita percaya kepada-Nya, ketika datang cobaan dan penderitaan kita tergoda untuk meninggalkan Dia. Ada saat ketika benih-benih sabda yang ditabur itu tumbuh tetapi dihimpit oleh semak duri kelekatan kita kepada dunia. Tetapi ada juga saat-saat benih-benih sabda-Nya yang ditabur jatuh di tanah subur dan menghasilkan panenan seratus kali lipat, enam puluh kali lipat, tiga puluh kali lipat.
Lapisan tanah yang subur kita sebut humus. “Humus” adalah lapisan tanah bagian atas yang subur, yang terbentuk dari lapukan daun atau batang pohon. Humus yang berwarna gelap itu mempunyai kemampuan meningkatkan unsur hara dan memiliki kontribusi terbesar terhadap kebertahanan dan kesuburan tanah. Kata “humus” sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti “bumi”, “dasar”, atau “tanah”. Kata “humus” juga menjadi akar kata bahasa Inggris “humility” yang berarti kerendahan hati. Dengan demikian, humus, “tanah yang subur”, dasar, dan kerendahan hati berkaitan erat. Menjadi tanah yang baik, perlu kerendahan hati. Kerendahan hati adalah dasar bagi segala keutamaan. Versi Injil Lukas dapat juga memberi makna lebih dari hal ini. “Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan.” (Luk 8: 15). Kita perlu berusaha dalam ketekunan dan kerendahan hati agar semakin hari kita semakin menjadi tanah yang subur bagi Sabda-Nya, agar menghasilkan panenan berlimpah.
Dapat hadiah kue cucur,
rasanya nikmat minta tambah.
Jadilah tanah yang subur,
hasilkan berkat berlimpah ruah.
Bacaan Misa hari ini: Yer. 3:14-17; MT Yer. 31:10,11-12ab,13; Mat. 13:18-23.