Sabda Hidup
Kamis, 22 April 2021, Kamis Pekan Paskah III
“Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman. Ada tertulis dalam kitab nabi-nabi: Dan mereka semua akan diajar oleh Allah. Dan setiap orang, yang telah mendengar dan menerima pengajaran dari Bapa, datang kepada-Ku. Hal itu tidak berarti, bahwa ada orang yang telah melihat Bapa. Hanya Dia yang datang dari Allah, Dialah yang telah melihat Bapa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal. Akulah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.”
(Yoh 6: 44 – 51)
Suatu ketika saya menghadiri misa pagi di salah satu paroki. Ketika liturgi sabda sudah hampir berlalu, nyelononglah seseorang yang datang terlambat duduk tidak jauh di samping saya. Pada waktu komuni, dengan santainya orang tersebut ikut berdiri berbaris dan menerima komuni. Wah saya yang merasa terganggu malah kemudian merasa tidak pantas menerima komuni, karena hati dipenuhi dengan sungut-sungut…..
Kejadian itu yang sering kita jumpai mengantar kita pada permenungan tentang sabda Tuhan hari ini. Spiritualitas tradisional Katolik tentang Ekaristi cenderung memusatkan diri pada doa dan penghormatan terhadap Roti dan Anggur kudus saja. Permenungan yang lebih mendalam terhadao perikope Injil hari ini menyadarkan kita akan nuansa yang berbeda dalam ajaran Yesus tentang “Roti Hidup”. Yang dimaksudkan oleh Yesus – roti dalam arti makanan yang memelihara iman itu mencakup juga Sabda dan pengajaran-Nya.
Yesus pun pernah berkata: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah,” (Bdk Mat 4: 4). Sabda Tuhan dan ajaran-Nya juga merupakan “makanan setiap hari”. Paus Yohanes Paulus II dalam surat apostoliknya “Mane Nobiscum Domine” dalam rangka Tahun Ekaristi 2004 – 2005, menulis: “Amatlah penting bahwa dua murid di jalan ke Emmaus dipersiapkan yang lebih dahulu oleh sabda Tuhan, mengenali-Nya di meja makan karena tindakan sederhana Yesus “memecah-mecahkan roti”. Jika pikiran telah dibuka dan hati dinyalakan, tanda mulai berbicara” (no. 14).
Maka alangkah baiknya kita menghindari kecenderungan untuk mereduksi Ekaristi pada makanan saja yaitu roti dan anggur kudus saja. Anugerah kehadiran Kristus yang bangkit dalam Ekaristi diberikan dalam satu paket: Sabda dan Sakramen. Tidak ada paket hemat: Sabda saja atau roti dan anggur saja.
* * *
Permenungan kita di atas dikaitkan dengan pengalaman konkrit, mengundang pertanyaan: Sampai pada bagian mana dalam suatu Perayaan Ekaristi, seseorang masih boleh terlambat datang ke gereja dan kemudian boleh menerima komuni kudus?
Pada prinsipnya, Perayaan Ekaristi merupakan satu kesatuan perayaan yang utuh dari Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi hingga Ritus Penutup. Hal ini berdasarkan ajaran Konsili Vatikan II sendiri yang menyatakan dalam Sacrosanctum Concilium artikel 56: “Misa Suci dapat dikatakan terdiri dari dua bagian, yakni Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Keduanya begitu erat berhubungan, sehingga merupakan satu tindakan ibadat. Maka Konsili suci dengan sangat mengajak para gembala jiwa, supaya mereka dalam menyelenggarakan katekese dengan tekun mengajarkan agar umat beriman menghadiri seluruh Misa, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib”.
Ungkapan “satu tindakan ibadat” jelas menunjuk kesatuan utuh seluruh Perayaan Ekaristi kita. Maka apabila pertanyaannya berbunyi: sampai kapan seseorang masih boleh terlambat, jawabannya ya: tidak ada tempat untuk terlambat. Artinya, menilik makna kesatuan utuh perayaan Ekaristi, seseorang jangan terlambat datang dalam Perayaan Ekaristi dan apalagi pulang duluan sebelum perayaan Ekaristi tersebut selesai.
Nah, bagaimana kalau seseorang terlambat karena faktor-faktor seperti ini? Dalam kasus seperti ini, yakni terlambat Misa karena faktor-faktor di luar dirinya, seseorang harus bertanya pada diri sendiri: apakah ia merasa pantas untuk menerima komuni suci!
Apabila perayaan Ekaristi yang dihadirinya ini merupakan satu-satunya Misa Kudus yang ada di parokinya atau Misa yang terakhir dari hari Minggu itu, kiranya dapat dimengerti dan diterima bahwa orang itu tetap menyambut komuni, meskipun terlambat. Akan tetapi apabila orang tersebut lalu sungguh merasa tidak pantas untuk menerima komuni, dan apalagi ada perayaan Ekaristi berikutnya pada hari Minggu tersebut, sangat baik jika orang itu tidak menerima komuni pada perayaan Ekaristi yang ia ikuti secara terlambat itu dan kemudian ikut secara penuh pada perayaan Ekaristi yang berikutnya sejak awal.
Yang sama sekali tidak baik ialah bahwa seseorang memang sengaja untuk datang terlambat, entah karena malas atau karena ogah mendengarkan homili pastor parokinya, tetapi lalu ikut maju menyambut komuni pada saatnya. Orang ini, meski sangat menghormati dan mendambakan komuni, tetap berlaku tidak pantas terhadap perayaan Ekaristi dan terhadap Tuhan yang hadir dalam Ekaristi.
Semoga kita semakin mencintai dan menghargai kekudusan serta keagungan Misteri Ekaristi yang perlu disambut dan dirayakan secara utuh dengan pantas, khidmat dan penuh iman.
Bacaan hari ini: Kis. 8:26-40; Mzm. 66:8-9,16-17,20; Yoh. 6:44-51.