Remah Harian

T A M A K

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Senin, 17 Oktober 2022, Senin Pekan Biasa XXIX, Peringatan St. Ignasius dari Antiokhia
Bacaan: Ef. 2:1-10Mzm. 100:2,3,4,5Luk. 12: 13-21

“Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.”

(Luk 12: 15)

Dua orang kakak beradik mewarisi lahan pertanian subur dari orang tua mereka yang sudah meninggal. Yang tua menikah, mempunyai empat orang anak. Sedangkan adiknya melajang. Saudara yang tua tinggal di rumah yang dibangun di sebelah timur, sedangkan adiknya di sebelah barat. Setelah panenan yang berlimpah saudara yang muda berpikir: “Tidak adil kalau hasil panenan berlimpah ini dibagi rata dengan kakakku. Aku cuma seorang diri, sedangkan kakakku mempunyai keluarga.” Maka, diam-diam di tengah malam ia masuk ke gudangnya, mengambil satu karung padi dan dengan diam-diam dipikulnya dan ditaruh di gudang kakaknya. Sedangkan saudara yang tua berkata kepada dirinya sendiri: “Tidak adil jika hasil panen melimpah ini dibagi rata antara aku dengan adikku. Adikku tinggal sendirian, sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang membantu dan memperhatikan aku.” Maka jam dua dinihari ia masuk ke gudangnya, mengambil satu karung padi, dipikulnya diam-diam menuju rumah adiknya, dan ditaruhnya padi itu di gudang adiknya. Demikianlah hal itu terjadi untuk sementara waktu. Suatu malam yang gelap kedua kakak beradik ini bertabrakan di jalan, di tengah-tengah antara rumah mereka. Keduanya jatuh beserta satu karung padi yang mereka pikul. Ketika mereka saling mengenali, keduanya tertawa dan berpelukan. Tempat mereka bertabarakan itu, ditandai oleh para malaikat sebagai tempat kudus.

Cerita ini persis kebalikan dengan kisah tentang orang kaya yang bodoh dalam Injil hari ini. Kedua saudara tadi membuka gudang mereka untuk saling berbagi, orang kaya yang bodoh mengumpulkan kekayaan hanya untuk diri sendiri. Benar bahwa apa yang ia kumpulkan itu barangkali adalah hasil dari kerja kerasnya. Ia sukses mengelola potensi yang dimilikinya. Akan tetapi Ia hidup dalam keserakahan dan berpikir bahwa kebahagiaan itu terletak pada usahanya untuk menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri. Apakah sumber dari keserakahan? Sumber keserakahan adalah kurangnya iman dan kepercayaan pada penyelenggaraan ilahi Allah. Kita ingin lebih dan lebih lagi; dan kita menumpuk entah uang atau barang karena kita tidak merasa aman akan masa depan kita. Dengan kelekatan pada harta, kita merasa lebih aman. Dengan kata lain kita lebih menggantungkan diri pada diri sendiri daripada mempercayakan diri kita pada Allah.

“Hanya mereka yang dapat menuntut diri mereka sendiri untuk mengasihi, dapat menuntut kasih dari orang lain,” kata St. Yohanes Paulus II.

St. Ignasius dari Antiokhia yang kita peringati hari ini berkata:

Jangan biarkan tempat, atau martabat, atau kekayaan seseorang, membusungkannya; dan jangan biarkan keadaan rendah atau kemiskinan seseorang merendahkannya. Karena hal yang paling utama adalah iman kepada Tuhan, harapan kepada Kristus, kenikmatan dari hal-hal baik yang kita cari, dan cinta kepada Tuhan dan sesama kita.

Mari kita hidup dalam kepercayaan bahwa segalanya adalah milik Allah, hidup bersahaja dan tidak lupa berbagi.

St. Ignasius dari Antiokhia

St. Ignasius adalah salah satu dari para Bapa Apostolik (kelompok otoritatif terawal dari para Bapa Gereja). Dia mendasarkan otoritasnya pada statusnya sebagai seorang uskup Gereja, menjalani hidupnya dengan meneladani Kristus.  St. Ignasius adalah Uskup Antiokhia ketiga sesudah Santo Petrus dan St. Evodius (yang wafat sekitar tahun 67 Masehi). 

Sejarahwan Eusebius mencatat bahwa St. Ignasius menggantikan St. Evodius setelah Pertus sendiri yang menunjuk Ignasius untuk menjabat sebagai uskup Antiokhia. Sebutan lain untuk dirinya adalah Teoforus yang berarti “Pemanggul Tuhan” dan menurut tradisi St. Ignasius seperti juga Santo Polikarpus adalah murid-murid dari Rasul Yohanes.

Kemartiran St. Ignasius dari Antiokhia – karya Cesare Fracanzano, abad ke-17

Pada masa penganiayaan uskup Ignasius ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dalam masa pemerintahan Kaisar Trajan. Ia digiring dari Antiokhia ke gelanggang pertunjukan di pusat kota Roma. Dalam perjalanan menyongsong kemartirannya di Roma, Ignatius menulis serangkaian surat yang terlestarikan sebagai sebuah contoh teologi Kristen paling awal. Topik-topik penting yang diuraikan dalam surat-surat tersebut mencakup eklesiologi, sakramen-sakramen, dan peranan para uskup. Dengan demikian, ia menggunakan cara yang sama dengan St. Paulus dalam mewartakan Kabar Sukacita. Sepanjang perjalanan itu dia menulis enam pucuk surat kepada Gereja-Gereja di kawasan itu dan sepucuk surat  untuk St. Polikarpus, yang kelak juga menjadi seorang martir.

Surat-surat St. Ignasius memberikan keterangan mengenai penangkapannya oleh penguasa dan perjalanannya ke Roma :

“  …. dari Suriah bahkan sampai Roma aku berhadapan dengan binatang-binatang buas, di darat dan laut, di malam dan siang hari, terbelenggu di tengah-tengah sepuluh ekor macan tutul, dan bersama sekelompok serdadu, yang akan berkelakuan semakin buruk  bilamana diperlakukan dengan sopan..”

— Ignatius kepada jemaat di Roma.

Ketika Ignasius yang terkasih tiba di Roma, ia dojebloskan kedalam penjara bersama para umat Kristiani yang sudah ditahan sebelumnya. Akhirnya, tibalah hari dimana sang uskup Ignasius dilemparkan ke arena pertunjukan. Dua ekor singa ganas menerkamnya. St. Ignasius wafat sekitar tahun 107. Ia mewariskan kepada kita kesaksian hidup Kristiani serta surat-suratnya yang indah.

Author

Write A Comment