Sabda Hidup
Rabu, 7 September 2020, Rabu Pekan Biasa XXIII
Bacaan: 1Kor. 7:25-31; Mzm. 45:11-12,14-15,16-17; Luk. 6:20-26.
“Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi.”
(Luk 6: 20 – 23)
Konteks kutipan Injil hari ini adalah “Kotbah di Dataran” segera sesudah Yesus memilih keduabelas Rasul. Jika dalam Injil Matius delapan sabda bahagia disampaikan dalam kotbah di bukit, Lukas menampilkan 4 sabda bahagia dalam kotbah di dataran, yang mengajarkan kebahagiaan sejati dalam kesadaran akan siapa diri kita dan apa yang seharusnya kita lakukan. Delapan Sabda Bahagia dalam Matius atau Empat Sabda Bahagia dalam Lukas bertolak belakang dengan kebahagiaan atau berkat dalam pemahaman budaya Yahudi pada waktu itu [dan juga dalam masyarakat modern saat ini] yang didasarkan pada kekayaan, kesehatan, kekuasaan, kesenangan dan kuatnya pengaruh.
Yesus mengajar para murid dalam paradoks kebahagiaan. Yang berbahagia adalah yang miskin, yang lapar, yang menangis, yang dibenci, dikucilkan dan ditolak karena Anak Manusia. Ini berlawanan dengan harapan pada umumnya. Sebab dalam kemiskinan, kita lebih mudah mengenal Dia yang meraja [bukan uang yang meraja], dalam kelaparan kita lebih mudah mengenali penyelenggaraan-Nya, dalam kesedihan mengenali kegembiraan sejati, dan dalam penganiayaan karena Dia, merasakan sukacita sejati. Pengalaman-pengalaman penderitaan itu justru membuka jalan bagi kita untuk menerima KEKAYAAN SEJATI…makanan, penghiburan dan penerimaan yang hanya kita temukan dalam Kasih dan Hadirat-Nya dalam Kerajaan-Nya. Sabda Bahagia itu pun merupakan perintah bagi kita tentang bagaimana kita harus hidup dan apa yang harus kita lakukan. Yang membuat seseorang sungguh terberkati bukan sekadar kelaparan, kesedihan atau penderitaan karena iman, tetapi lebih dari itu adalah KOMITMEN pada Yesus dan semangat-Nya berbagi.
Sabda Bahagia ini menjadi tantangan bagi kita dalam hidup sehari-hari. Berjuta-juta orang menderita kelaparan, dianiaya, tuna wisma, hidupnya tanpa harapan. Ketika tangan kita terulur untuk membantu mereka, kita menghidupi Sabda Bahagia itu. Bukankah kita akan dihakimi atas cinta dan belas kasih kita (lih. Mat 25: 31 – 46). Ingatlah bahwa setiap kali kita membantu mereka yang berkebutuhan, sakit, tertindas, kita menjadi sarana bagi mereka untuk mengalami cinta Tuhan. Seperti para Rasul dipanggil untuk melayani mereka yang tersingkir dan terpinggirkan dalam masyarakat, demikian juga semua orang Kristen dipanggil untuk melayani mereka yang tak tersentuh, yang terpinggirkan dalam masyarakat kita, agar mereka berjumpa dengan cinta Tuhan secara nyata.
Ah… di hati saya koq tiba-tiba mengalir rasa hangat, kebanggaan, mengingat rekan-rekan saya yang sedang berjuang melayani umat di pedalaman, yang tetap bahagia mencukupkan diri dalam keterbatasan [kolekte saja tak cukup buat beli lilin di altar…] Kebahagiaan yang melebihi senangnya hangout di mall… Sungguh terberkati.