Sabda Hidup
Rabu, 10 Agustus 2022, Pesta St. Laurensius
Bacaan: 2Kor. 9:6-10; Mzm. 112:1-2,5-6,7-8,9; Yoh. 12:24-26.
“Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.”
(Yoh 12: 24)
Tentu kita semua tahu pohon pisang. Ketika pisang masak dan siap dipanen, maka daunnya akan mengering. Dan ketika kita memanen buahnya, pohon pisang harus ditebang dan karenanya mati. Tetapi kematian pohon pisang itu tidak sia-sia, sebab kematiannya akan membuka jalan bagi tumbuhnya anakan pohon pisang tersebut.
Dalam Injil hari ini (Yoh 12: 24 – 26) Yesus menyajikan sebuah analogi hidup dan mati. Pun dalam kematian diri kita sendiri, yakni mati terhadap kesombongan, cinta diri dan individualisme, kehidupan baru akan bertumbuh. Seperti biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, itulah kematian yang menghasilkan banyak buah. Yesus sendiri disalibkan dan wafat dan kematiannya menghasilkan keselamatan, kehidupan kekal, sakramen-sakramen dan Gereja.
Kematian yang menghasilkan buah itu juga ditunjukkan oleh St. Laurensius yang kita rayakan pestanya hari ini. Santo Laurensius adalah salah satu dari tujuh diakon yang menjadi martir bersama Paus Santo Sixtus II pada masa penganiayaan kaisar Valerianus. Ia diperkirakan lahir di kota Huesca Spanyol, sebuah kota di wilayah Aragon dekat kaki Pegunungan Pyrenees. Sebagai seorang pemuda ia dikirim ke kota Zaragoza untuk menyelesaikan studi kemanusiaan dan teologinya. Di sini ia bertemu dengan gurunya, yang di kemudian hari diangkat menjadi Paus Sixtus II. Saat itu gurunya adalah seorang guru besar yang sangat dihormati di kota Zaragoza. Bersama gurunya itu Laurensius lalu pindah ke Kota Roma.
Ketika gurunya diangkat menjadi Paus pada tahun 257, Laurensius diangkat menjadi seorang diakon. Meskipun masih muda, Laurensius ditunjuk sebagai yang utama di antara tujuh diakon yang bertugas di kota Roma. Karena itu ia disebut “Diakon agung dari Roma”, yang bertugas mengelola kas gereja dan membagi-bagikan derma bagi para fakir miskin dan para janda di seluruh kota Roma. Ia juga adalah pelayan utama paus dalam setiap upacara liturgi.
Saat itu masa penganiayaan kaisar Valerianus dimulai. Penganiayaan dilakukan dengan amat kejam. Banyak orang Kristiani harus bersembunyi dalam katakombe-katakombe bawah tanah dimana mereka dapat ambil bagian dalam perayaan ekaristi dan saling menguatkan satu sama lainnya. Pada tanggal 6 Agustus 258, para prajurit Romawi menerjang masuk suatu ruangan dalam katakombe di mana Paus Sixtus II sedang memimpin misa. Paus dan para diakonnya serta semua umat kristiani yang hadir disitu sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman kematian. Kepada Paus, Santo Laurensius berkata: “Aku akan menyertaimu kemana saja engkau pergi. Tidaklah pantas seorang imam agung Kristus pergi tanpa didampingi diakonnya.” Paus terharu mendengar kata-kata Laurensius itu. Lalu ia berkata: “Janganlah sedih dan menangis, anakku! Aku tidak sendirian. Kristus menyertai aku. Dan engkau, tiga hari lagi, engkau akan mengikuti aku ke dalam kemuliaan surgawi”. Paus Sixtus II bersama dengan dua orang diakonnya yaitu St. Felisismus dan St. Agapitus langsung dibunuh di tempat itu, sedangkan St. Laurensius ditangkap dan dibawa kepenjara.
Prefek kota Roma tahu bahwa Laurensius adalah orang yang mengurus kas dan harta kekayaan Gereja. Karena itu ia membujuk Laurensius untuk menyerahkan semua kekayaan Gereja itu kepada penguasa Roma. Santo Laurensius meminta waktu tiga hari untuk mengumpulkan semua harta kekayaan gereja yang disimpannya. Dia bekerja cepat mengumpulkan orang-orang miskin lalu membagi-bagikan kekayaan Gereja sebanyak mungkin kepada mereka. Pada hari ketiga, ia memimpin orang-orang miskin, orang cacat, orang buta dan orang sakit, dan berarak menuju kediaman Prefek kota Roma. Kepada penguasa Roma itu, Laurensius berkata: “Tuanku, inilah harta kekayaan Gereja yang saya jaga. Terimalah dan periharalah mereka dengan sebaik-baiknya.”
Tindakan dan kata-kata Laurensius ini dianggap sebagai suatu olokan dan penghinaan terhadap penguasa Roma. Karena itu, ia segera ditangkap dan dipanggang hidup-hidup di atas gridiron, terali besi yang panas membara. Laurensius tidak gentar sedikitpun menghadapi hukuman ini. Setelah separuh badannya bagian bawah hangus terbakar, ia meminta supaya badannya dibalik sehingga seluruhnya bisa hangus terbakar. “Sebelah bawah sudah hangus, baliklah badanku agar seluruhnya hangus!” katanya dengan sinis kepada para algojo yang menyiksanya. Laurensius akhirnya menghembuskan nafasnya di atas pemanggangan itu sebagai sekorang ksatria Kristus.
Bagi kita, tidak harus kita mengikuti secara harafiah mati sebagai martir seperti St. Laurensius. Namun, masing-masing dari kita memiliki kemampuan untuk berbuat baik dan menunjukkan kemurahan hati satu sama lain. Mungkin kita tidak dapat melakukan sesuatu yang besar tetapi setidaknya kita telah berkontribusi dalam membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik untuk kita semua.
Selamat pesta St. Laurensius.