Seekor gajah lepas dari kawanannya dan lewat melintasi sebuah jembatan kayu kecil di atas jurang.
Jembatan tua itu goyah dan gemeretak, hampir tidak kuat menyangga berat si gajah.
Setelah selamat sampai di seberang, seekor lalat yang bertengger pada telinga gajah, berseru dalam perasaan amat puas: “Oh, tahukah kamu, tadi telah kami goncangkan jembatan itu!”
Ketujuh puluh murid yang kembali dari perutusan itu begitu gembira dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.” (Luk 10: 17). Namun Yesus juga mengingatkan mereka: “Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.”
Para murid sangat gembira, namun Yesus dengan cepat mengingatkan mereka akan bahaya terlalu bangga dengan pencapaian pribadi dan ambisi. Alasan yang tepat untuk bersukacita terletak pada harapan mencapai surga. Pahala yang lebih besar dari para murid bukanlah uang atau kehormatan, melainkan keintiman yang dalam dengan Tuhan, hubungan yang mengantar iman dan pertobatan.
Terlalu bangga dengan keberhasilan bisa membawa kepada godaan adulasi dan popularitas yang dapat membuat orang melakukan hal-hal yang begitu banyak, bukan untuk kerajaan Allah atau pewartaan kabar baik, tetapi untuk keuntungan material atau ego sendiri. Kalaupun kita tidak mencari keuntungan material, seringkali kita secara tidak sadar mencari popularitas, kekuasaan, dan pengakuan. Keberhasilan harus membawa kita untuk menjadi lebih rendah hati dan lebih bermurah hati. Kita tetaplah hamba yang tak layak, yang dipercaya oleh Tuhan untuk tugas sebagai saksi dan pewarta. Efektivitas dalam pekerjaan atau pelayanan kita bukanlah hasil dari kekuatan kita sendiri; itu terjadi saat kita membiarkan Tuhan bekerja dengan dan melalui kita.
Bacaan Misa hari ini: Bar. 4:5-12,27-29; Mzm. 69:33-35,36-37; Luk. 10:17-24