Sabda Hidup
Rabu, 7 Desember 2022, Peringatan Wajib St. Ambrosius
Bacaan: Yes. 40:25-31; Mzm. 103:1-2,3-4,8,10; Mat. 11:28-30
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.”
(Mat 11: 28 -30)
Hari ini kita dengar undangan paling indah dari Sang Juruselamat. “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Bagi orang-orang Yahudi orthodoks, agama menjadi suatu yang membebani. Ada 613 hukum Musa dengan ribuan penafsiran, yang mengatur setiap aspek hidup. Yesus mengundang umat Israel yang terbebani, dan kita, untuk memikul kuk yang dipasang oleh-Nya. Kuk yang terbuat dari kayu dan dipahat sedemikian rupa sehingga pas bagi binatang seperti sapi atau kerbau, akan nyaman bagi binatang tersebut. Kuk Kristus dapat dilihat sebagai tanggungjawab dan kewajiban Kristiani kita. Kuk Yesus itu ringan karena diberikan dengan kasih. Itulah perintah untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama seperti Ia sendiri. Kuk yang diberikan itu juga bukan hanya kuk dari-Nya tetapi kuk bersama-Nya. Jadi kita memikul beban bersama dengan Yesus. Ia mengundang kita memikul kuk bersama-Nya, menyatukan hidup kita dengan hidup-Nya, kehendak kita dengan kehendak-Nya, hati kita dengan hati-Nya. Dengan mengatakan bahwa “Kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan,” Yesus hendak mengatakan bahwa apapun yang Ia berikan kepada kita dicipta sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kita.
Sahabat-sahabat, apapun yang kita alami dalam hidup kita, Tuhan kita tidak pernah jauh, juga ketika kita sedang mengalami persoalan. “Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya,” (Yes 40: 29).
Yesus tidak mengatakan bahwa jika kita datang kepada-Nya, kita tidak punya masalah lagi, tidak ada lagi penderitaan, tidak ada lagi kekecewaan. Tetap akan ada “kuk” untuk kita pikul. Namun ingat, kuk yang dipasang oleh Yesus bukanlah kuk agar kita menarik beban sendiri, tetapi untuk menarik beban bersama-sama dengan Yesus. Yesus tidak berjanji bahwa tidak akan ada lagi beban. Tetapi Ia akan memikul beban itu bersama dengan kita. Hidup tanpa penderitaan, tanpa kesalahan, tanpa kekecewaan, hidup tanpa kesulitan dan tantangan, bukan hidup lagi namanya. Tantangan hidup sangat penting bagi kita untuk tumbuh dan matang. Tetapi semua itu lebih mudah untuk dipikul ketika Dia memikulnya bersama dengan kita. Kita tahu bahwa kita tidak pernah sendirian dalam kesulitan dan kesengsaraan kita.
Advent mengingatkan kita bahwa Allah Putera datang dan menjadi manusia dan menjadi sama dengan kita. Meski ia tidak berdosa, ia mengalami segala efek dosa dan beban yang menyertainya. Ia menghidupi kemanusiaan secara utuh, mengalami segala kesulitan dan beban kita.
Bersama dengan Yesus, kita mempunyai keyakinan bahwa “orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya,” (Yes 40: 31).
St. Ambrosius, Uskup dan Pujangga Gereja
Hari ini kita peringati St. Ambrosius. Ambrosius adalah uskup kota Milan, salah satu keuskupan terpenting pada abad ke-4. St.Ambrosius bersama-sama dengan Santo Augustinus Hippo, Santo Hieronimus, dan Santo Gregorius Agung, dianggap sebagai empat doktor Gereja Barat dalam Sejarah Gereja kuno.
Ambrosius lahir sekitar tahun 339 di Trier, Jerman, di lingkungan sebuah keluarga Kristen yang saleh. Ayahnya adalah gubernur (prefect) Romawi di Gallia Narbonensis dan ibunya adalah seorang wanita kristen yang saleh. Sebuah legenda mengatakan bahwa ketika masih anak-anak, sekelompok lebah hinggap di muka Ambrosius kecil dan meninggalkan setetes madu dimulutnya. Bapaknya berpikir bahwa ini adalah tanda bahwa anak ini akan menjadi seorang yang sangat pandai berbicara. Karena alasan ini, lebah dan sarang lebah sering tampak dalam simbol santo ini.
Ambrosius berencana mengikuti karier politik ayahnya, karena itu kemudian bersekolah di kota Roma. Ia belajar sastra, hukum dan retorika. Kepandaiannya membuat ia mendapat tempat di dewan kota dan sekitar tahun 372 ia diangkat menjadi kepala dewan kota Liguria dan Emilia, dengan berkedudukan di kota Milano. Saat itu Milano adalah ibu kota kedua Kerajaan Romawi setelah Kota Roma. Kedudukan ini membuatnya menjadi terkenal ke seluruh negeri sebagai seorang administrator yang cakap dan seorang politisi ulung.
Pada masa itu umat di kota Milan terpecah menjadi dua golongan; Kristen Trinitarian dan Bidaah Arianisme. Walau ia sendiri adalah seorang Kristen yang setia dan percaya pada Tuhan Yesus, namun Ambrosius sang Kepala Dewan Kota yang sangat bersahaja ini sangat dihormati dan diterima dengan baik oleh kedua golongan yang sedang bertikai ini.
Ketika Uskup Milan Auxentius meninggal dunia; Kedua golongan ini terlibat persaingan dan pertikaian sengit dalam pemilihan Uskup yang baru. Gubernur Milan sampai harus datang secara pribadi ke basilika tempat pemilihan berlangsung, untuk mencegah kerusuhan yang mungkin akan terjadi. Saat gubernur sedang berpidato ia diinterupsi dengan seruan-seruan “Angkat Ambrosius menjadi uskup!” yang kemudian diikuti oleh orang lain sehingga Ambrosius pun secara aklamasi diangkat sebagai uskup.
Ambrosius dengan keras menolak pengangkatannya ini karena ia sama sekali tidak siap. Ia bukan seorang imam dan tidak memiliki pendidikan teologis. Namun umat terus mendesaknya; gubernur Milan dan bahkan kaisar pun memintanya untuk menerima keputusan tersebut. “Suara rakyat adalah suara Tuhan” begitu kata mereka. Ambrosius kamudian dengan besar hati menerima pilihan umat kota Milan.
Sebagai uskup, ia segera menjalani cara hidup para pertapa (asketik) dan bermati-raga dengan sangat keras. Ia menjual segala miliknya dan membagi-bagikan uangnya kepada orang miskin. Tanahnya yang luas ia serahkan kepada Gereja, dan sebagian kecil ia sisakan untuk saudara perempuannya Marselina (yang kemudian juga menjadi seorang santa).
Uskup Ambrosius menjadi bapa serta teladan yang mengagumkan bagi umatnya. Ia juga melawan segala kejahatan dengan keberanian yang mengagumkan. Ia juga melawan bidaah Arian dengan gigih. Suatu ketika kaum Arianisme yang mendapat dukungan kuat dari kaisar dan ibu suri meminta izin dari bapa Uskup Ambrosius untuk menggunakan dua gedung gereja, satu di dalam kota, dan satunya lagi di pinggiran kota Milan. Ambrosius menolak, dan karena itu ia dituntut pertanggung-jawabannya di hadapan dewan kekaisaran. Dalam sidang yang dihadiri khalayak ramai itu, kegigihannya menyebabkan hakim memperbolehkannya pulang tanpa harus menyerahkan kedua gedung gereja tersebut. Segala upaya dewan kekaisaran untuk dapat menguasai kedua Gereja itu bagi kaum Arian terbukti sia-sia. Ketika mereka terus menekannya dengan segala cara; Bapa uskup malah mengeluarkan pernyataan yang sangat keras: “Jika engkau menginginkan saya, saya siap untuk takluk. Bawalah saya ke dalam penjara atau kematian, saya tidak akan melawan; tetapi saya tidak akan mengkhianati gereja Kristus. Saya tidak akan menyeru rakyat untuk menolong saya; lebih baik saya mati di kaki altar dari pada meninggalkannya. Huru-hara rakyat tidak akan saya bangkitkan: namun hanya Allah yang mampu meredakannya”. Ketegasan Santo Ambrosius ini dapat menghentikan pertumbuhan pengaruh ajaran sesat Arianisme di Milano.
Berhadapan dengan suatu pasukan yang siap menyerang, St. Ambrosius berdiri paling di depan menyambut kedatangan mereka. Ia berhasil meyakinkan pemimpin mereka untuk menarik mundur pasukannya meninggalkan Milano. Sebagi uskup Ambrosius tidak pernah melupakan tugas utamanya sebagai pelayan iman bagi umatnya. Ia melayani semua orang dengan penuh kasih; baik dari golongan petani miskin maupun dari keluarga bangsawan yang kaya raya. Bagi Sang Uskup semua orang adalah sama dimata Tuhan. Bahkan ketika kaisar Theodosius melakukan suatu dosa berat, Bapa Uskup tidak segan-segan menegurnya. Teguran keras dari gembalanya tidak membuat Kaisar menjadi gusar dan marah. Ia sadar bahwa Ambrosius benar. Sebagai bukti pertobatannya; Kaisar dengan rendah hati melakukan penitensi secara umum atas dosa-dosanya, sesuai dengan perintah dari bapa Uskup.
Rakyat khawatir akan apa yang terjadi dengan Italia apabila Ambrosius wafat. Karenanya ketika Ambrosius jatuh sakit, mereka memohon kepadanya untuk berdoa agar dikarunia umur panjang. Ambrosius menjawab, “Aku tidak berlaku sedemikian rupa di antara kalian sehingga aku merasa malu untuk hidup lebih lama; namun demikian aku juga tidak takut mati, karena kita mempunyai Tuan yang baik.” Uskup Ambrosius wafat pada hari Jumat Agung pada tahun 397.