Remah Mingguan

Perumpamaan tentang Perjamuan Perkawinan

Pinterest LinkedIn Tumblr

Lalu Yesus berbicara pula dalam perumpamaan kepada mereka: “Hal Kerajaan Sorga seumpama  seorang raja, yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya. Ia menyuruh hamba-hambanya  memanggil orang-orang yang telah diundang ke perjamuan kawin itu, tetapi orang-orang itu tidak mau datang. Ia menyuruh pula hamba-hamba lain, pesannya: Katakanlah kepada orang-orang yang diundang itu: Sesungguhnya hidangan, telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini. Tetapi orang-orang yang diundang itu tidak mengindahkannya; ada yang pergi ke ladangnya, ada yang pergi mengurus usahanya, dan yang lain menangkap hamba-hambanya itu, menyiksanya dan membunuhnya.  Maka murkalah raja itu, lalu menyuruh pasukannya ke sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh  itu dan membakar kota mereka. Sesudah itu ia berkata kepada hamba-hambanya: Perjamuan kawin telah tersedia, tetapi orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu. Sebab itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu. Maka pergilah hamba-hamba itu dan mereka mengumpulkan semua orang yang dijumpainya di jalan-jalan, orang-orang jahat dan orang-orang baik, sehingga penuhlah ruangan perjamuan kawin itu dengan tamu.  Ketika raja itu masuk untuk bertemu dengan tamu-tamu itu, ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta.  Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta? Tetapi orang itu diam saja. Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.  Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” (Mat. 22:1-14)

Sangat menarik untuk membandingkan versi panjang dan versi pendek dari bacaan Injil hari ini. Versi panjangnya terdiri dari dua perumpamaan yang disambung, yakni perumpamaan tentang perjamuan nikah dan perumpamaan tentang orang yang datang ke perjamuan tanpa pakaian pesta.

Bahwa penggabungan kedua perumpamaan itu adalah hal sekunder seperti ditunjukkan oleh Lukas (14: 16-24) dan oleh Injil Thomas, di mana perumpamaan tentang perjamuan nikah itu adalah perumpamaan tersendiri, tanpa penambahan perumpamaan tentang pakaian pesta.

Penggabungan ini menghasilkan kesan yang tidak realistis, sehingga kita mau tidak mau bertanya, bagaimana mungkin orang malang itu diharapkan memiliki pakaian pernikahan jika dia hanya dibawa ke perjamuan itu secara tidak terduga dari jalan? “Maka pergilah hamba-hamba itu dan mereka mengumpulkan semua orang yang dijumpainya di jalan-jalan, orang-orang jahat dan orang-orang baik, sehingga penuhlah ruangan perjamuan kawin itu dengan tamu,” (Mat 22: 10). Rupanya, dalam bentuk aslinya, perumpamaan tentang pakaian pesta itu adalah perumpamaan yang berdiri sendiri. Pembukaan asli dari perumpamaan itu kemudian hilang saat digabungkan dengan perumpamaan tentang perjamuan nikah.

Meskipun sulit untuk dipastikan, nampaknya penginjil bertanggung jawab untuk penggabungan kedua perumpamaan tersebut. Dia menginterpretasikan pengumpulan orang-orang jahat dari jalanan secara alegoris sebagai prediksi tentang misi untuk mengumpulkan orang-orang (bangsa-bangsa) bukan Yahudi pada masa gereja perdana, dan menambahkan perumpamaan kedua sebagai peringatan terhadap masuknya bangsa-bangsa lain itu (dengan persyaratan) yang terlalu mudah.

Tidak mungkin penginjil itu bermaksud untuk mewajibkan sunat bagi orang-orang bukan Yahudi, karena masalah itu telah diselesaikan jauh sebelum sidang para rasul (Gal 2; lih Kisah Para Rasul 15).

Matius mungkin memasukkan sedikit propaganda untuk mendukung keputusan para rasul tersebut yang, menurut Kisah Para Rasul 15, diumumkan pada sidang tersebut, namun kemungkinan besar baru ditetapkan secara definitif pada sidang berikutnya sementara Paulus pergi/tidak hadir (lihat Kisah Para Rasul 21:25).

Sebagai perumpamaan Yesus yang asli, kisah tentang orang dengan pakaian pesta, seperti banyak perumpamaan lainnya, adalah nasihat tentang kesiapan dalam menghadapi kedatangan Kerajaan Allah. Undangan itu datang lebih cepat dari yang diperkirakan, dan itu membuatnya tidak siap. Celakalah orang dalam kasus seperti itu!

Bentuk yang lebih singkat, seperti telah kita catat, terdiri dari perumpamaan perjamuan nikah itu saja. Penelaahan tentang kisah paralelnya dalam Injil Lukas dan Injil Thomas menunjukkan bahwa versi Injil Matius tersebut sangat sarat dengan kiasan.

Sekali lagi, kiasan-kiasan tersebut telah menghasilkan beberapa hal yang sangat tidak realistis. Perumpamaan itu sangat jauh dari yang biasa terjadi dalam hidup – dan perumpamaan Yesus biasanya sangat realistis, walau sering diakhiri dengan kejutan-kejutan tertentu.  Cukup aneh bahwa para undangan itu tidak hanya menolak, tetapi menangkap, menyiksa bahkan membunuh para utusan, (Mat 22: 6). Dan lebih aneh lagi bahwa raja atau tuan pesta itu begitu marahnya sampai mengirim balatentara yang bukan hanya membasmi para pembunuh itu tetapi juga menghancurkan kota mereka (Mat 22: 7).

Nampaknya hal ini mencerminkan kejadian pada tahun 66 – 70 Masehi di mana Yerusalem diserbu dan dihancurkan. Dengan penambahan tersebut, perumpamaan ini digunakan oleh gereja sesudah tahun 70 sebagai penafsiran atas bencana tersebut: hukuman bagi Israel yang telah menolak Injil dan telah menganiaya dab membunuh para utusan/orang-orang Kristen.

Tapi ini bukan akhir dari alegorisasi. Perbandingan lagi dengan Lukas dan Injil Thomas menunjukkan bahwa di dalam Matius perumpamaan telah diubah dengan cara lain.

Di versi lain, perjamuan itu hanya diselenggarakan oleh seseorang individu; tapi dalam Injil Matius itu adalah kisah pesta pernikahan yang diselenggarakan oleh seorang raja untuk anaknya. Sang Raja itu tentu Tuhan, dan anak-Nya adalah Yesus, sang Mesias.

Ini tentu saja merupakan penafsiran ulang sesudah peristiwa Paskah, namun jika kita ingin bertanya apa maksud Yesus saat dia menceritakan perumpamaan tersebut, kita harus mengabaikan unsur-unsur tambahannya (perumpamaan tentang pakaian pesta).

Ini adalah penghakiman atas orang-orang sezaman Yesus yang menolak undangan-Nya ke dalam Kerajaan Allah yang sedang datang, dan sebuah jaminan bagi orang-orang yang terbuang dan terpinggirkan, yang dengannya Yesus merayakan perjamuan.

Tentang bagian kedua dari perumpamaan tersebut, yakni perumpamaan tentang pakaian pesta, kotbah St. Agustinus berikut ini menarik untuk direnungkan:

Semua umat sudah sangat biasa dengan kisah tentang nikah putera raja dan perjamuan yang diselenggarakannya, dan bagaimana perjamuan Tuhan diselenggarakan untuk semua yang datang.

Ketika semua sudah siap duduk makan, “Raja itu melihat seorang yang tidak berpakaian pesta. Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta?” (Mat 22: 12).

Nah, apa arti dari hal itu? Mari kita mencoba lihat, apa yang dimiliki oleh sebagian orang-orang yang percaya, dan kekurangan apa yang ada pada orang-orang jahat, sebab itulah pakaian pesta tersebut.

Apakah pakaian pesta itu sakramen-sakramen? Mungkin bukan, untuk ini, seperti kita ketahui, adalah biasa untuk orang baik dan jahat. Ambillah baptisan sebagai contoh. Memang benar bahwa tidak ada yang datang kepada Tuhan kecuali melalui baptisan, tapi tidak semua orang yang dibaptis datang kepadaNya.

Kita tidak dapat menyamakan sakramen dengan pakaian pesta tersebut, sebab pakaian itu dipakai baik oleh orang baik, maupun oleh orang-orang jahat. Atau, itu adalah altar kita, atau paling tidak apa yang kita terima dari altar itu. Tetapi kita tahu, banyak yang menghampiri altar itu, makan dan minum untuk penghukumannya sendiri.

Atau, itu adalah puasa? Orang jahat pun berpuasa. Atau itu tentang pergi ke gereja? Banyak orang jahat juga pergi ke gereja.

Jadi, apakah pakaian pesta itu? Untuk mendapatkan jawabnya, kita mesti kembali kepada seorang Rasul yang berkata: “Tujuan dari perintah kita adalah untuk membangkitkan kasih yang berasal dari hati yang murni, hati nurani yang bersih, dan iman yang tulus.”

Itulah pakaian pesta itu. Kasih itu bukan sembarang kasih. Banyak orang dengan hati nurani yang buruk Nampak juga saling mengasihi, tetapi kamu tidak akan menemukan dalam diri mereka: “kasih yang berasal dari hati yang murni, hati nurani yang bersih, dan iman yang tulus.” Hanya kasih seperti itulah pakaian pesta itu.

“Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat,” demikian kata Rasul Paulus, “tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman  yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.”

Dengan kata lain, bahkan dengan semua karunia itu, aku sama sekali tidak berguna, tanpa Kristus. Apakah itu berarti bahwa karunia bernubuat tidak ada artinya dan mengetahui segala rahasia tidak ada nilainya?

Bukan, bukan berarti karunia-karunia itu tidak berguna, tetapi akulah yang tidak berguna, jika aku mempunyai semua itu tetapi tanpa kasih. Akan tetapi apakah kekurangan satu hal baik menghapus nilai-nilai yang lain? Ya, tanpa kasih, pengakuanku akan nama Kristus bahkan hingga mencurahkan darah atau memberikan diri untuk dibakar hidup-hidup tidak akan berguna bagiku, karena aku dapat melakukan semua ini karena keinginan untuk bermegah.

Hal-hal semacam itu bisa ditanggung demi pertunjukan kosong tanpa kasih sejati kepada Tuhan,  kata rasul Paulus. Lagi, dengarkan dia: “Jika saya memberikan semua yang saya miliki kepada orang miskin, jika saya menyerahkan tubuh saya untuk dibakar, tapi tidak memiliki kasih, maka itu tidak akan berguna untuk saya.” Jadi, inilah pakaian pesta itu.

Periksalah dirimu untuk melihat apakah kamu memilikinya. Jika kamu melakukannya, tempat Anda di meja perjamuan Tuhan terjamin.

Sermon 90,1. 5-6: PL 38, 559. 561-563

Gambar: A boyar wedding feast oleh Konstantin Makowsky (1883).

Author

Write A Comment