Sabda Hidup
Rabu, 29 Desember 2021, Hari Kelima Oktaf Natal
Bacaan: 1Yoh. 2:3-11; Mzm. 96:1-2a,2b-3,5b-6; Luk. 2:22-35.
“Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan, seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: “Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah”, dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati. Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya, dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan.”
(Luk 2: 22 – 26)
Injil hari ini menghadirkan kepala Keluarga Kudus, Yusuf, dengan setia menaati hukum Allah yang diberikan melalui Musa tentang pentahiran ibu setelah melahirkan dan penebusan anak dengan membawa Maria dan Bayi Yesus ke Bait Suci. Peristiwa-peristiwa yang diceritakan adalah peristiwa-peristiwa yang secara tradisional kita rayakan pada tanggal 2 Februari pada Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah. Perikope ini diberikan kepada kita hari ini dengan menyatukan semua peristiwa masa kanak-kanak Kristus dalam Oktaf Natal. Dikisahkan dalam Injil upacara pentahiran ibu setelah melahirkan dan persembahan anak laki-laki di Bait Allah. Hal ini dikenal sebagai pesta Pesta Pentahiran Maria (dengan mempersembahkan dua merpati di Bait Suci); Hari Raya Yesus Dipersembahkan (dengan doa dan, “lima syikal untuk seorang anggota keluarga imam” (Bilangan 18:15-16; Luk 22:22), untuk menebus atau membeli kembali anak sulung laki-laki dari Tuhan); dan Pesta Perjumpaan yang biasa dirayakan oleh Gereja-gereja Timur (Perjanjian Baru, yang diwakili oleh Bayi Yesus, berjumpa dengan Perjanjian Lama, yang diwakili oleh Simeon dan Anna).
Saya tertarik untuk memusatkan perhatian pada Simeon. Kepadanya dinyatakan oleh Roh Kudus bahwa ia suatu saat akan melihat sang Mesias yang menjadi daging, sebelum ia mati. Tetapi antara wahyu bahwa ia akan melihat Mesias dengan mata kepala sendiri dan perjumpaannya secara riil dengan Mesias itu terdapat waktu yang amat panjang. Bertahun-tahun, bahkan beberapa dekade. Saya tergelitik untuk bertanya, apa yang dibuatnya dalam waktu yang panjang itu? Berdasar tanda yang diterimanya itu, mungkin ia pergi ke Bait Suci setiap hari. Bisa jadi di sana dari saat ke saat ia memeriksa bayi-bayi sulung yang dibawa ke Bait Suci untuk dipersembahkan bagi penebusannya. Ia lakukan itu barangkali hingga sampai 30an tahun.
Barangkali teman-teman, sahabat-sahabat, kenalannya menertawakan dia. Mungkin orang-orang akan bertanya kepadanya, “Kamu pikir hari ini adalah harinya bagimu, Simeon?”
Namun, semua itu tidak melemahkan semangatnya. Yang mengganggu barangkali adalah penantiannya. Dan dalam penantian itu biasanya keraguan merayap dan mengintip. Jangan-jangan ia sudah melewatkan sang Mesias. Jangan-jangan ketika ia sakit sehingga ia tidak bisa datang ke Bait Allah ia sudah melewatkan sang Mesias. Jangan-jangan ia sebenarnya sudah berjumpa dengan Mesias itu tetapi ia tidak mengenalinya! Ada saat-saat di mana Tuhan terasa begitu jauh, bahkan seakan-akan Ia tidak ada. Tetapi Simeon tidak menyerah. Meski keraguan dan kesuliatan, ia tetap berharap dan percaya kepada Tuhan.
Kita sendiri, sering kali harus berjalan dalam iman saja, percaya akan kesetiaan Allah, meski tidak jarang Allah terasa begitu jauh, terasa semperti meninggalkan kita dalam ketidakjelasan, atau bahkan tak terasa sama sekali kehadiran-Nya. Dalam saat-saat seperti itu mari kita ingat Simeon. Orang-orang seperti Simeon itu tak akan pernah dikecewakan!