Sabda Hidup
Kamis, 11 Agustus 2022, Kamis Pekan Biasa XIX, Peringatan St, Klara
Bacaan: Yeh. 12:1-12; Mzm. 78:56-57,58-59,61-62; Mat. 18:21-19:1.
“Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”
(Mat 18: 35)
Akhir kisah dari perumpamaan yang disampaikan Yesus sedikit menggelitik. Tuhan mengajarkan pengampunan, tetapi di akhir perumpamaan itu Ia mengatakan bahwa mereka yang tidak mengampuni akan diserahkan kepada algojo-algojo, akan disiksa. Tentu saja, siksaan merupakan salah satu bentuk sikap tak mau mengampuni.
Akan tetapi, barangkali memang demikian. Sebab jika kita tidak mengampuni, kita sendiri akan merasa tersiksa. Tentu saja siksaan itu tidak datang dari Tuhan. Siksaan itu juga tidak diberikan oleh Imam yang mendengarkan pengakuan dosa kita. Ketika kita tidak mau mengampuni, siksaan itu datang dari diri kita sendiri. Kita menghukum diri kita sendiri. Damai dan sukacita kita campakkan.
Pengikut Kristus yang menolak untuk mengampuni, yang menyimpan dendam dalam hatinya, yang memendam kepahitan dalam diri sendiri, menyiksa, menghukum diri sendiri. Menyingkirkan rahmat-rahmat yang seharusnya diterima. Sebab ketika kita tidak mengampuni, kita akan mudah tersinggung, mudah marah, mudah menggerutu. Muka berkerut. “Muka bunuh” kata orang Merauke. Ketika kita tidak mengampuni, tidurpun tidak nyenyak.
Suatu hari Minggu, saya mengendarai sepeda motor di jalan dalam kota Merauke yang lengang. Di sebuah perempatan, tiba-tiba sebuah mikrolet melakukan “u turn” – suatu tindakan yang tidak diperbolehkan. Maka tabrakan tidak terelakkan. Saya menabrak pintu sebelah kiri mikrolet tersebut dengan cukup keras. Kaca pintu itu hancur berantakan dan pintu mikrolet itu “penyok” cukup dalam. Saya sendiri terlempar cukup jauh walau kemudian dapat bangun kembali. Maka begitu saya bangkit, mengalirlah kejengkelan dan kemarahan dalam luapan kata-kata kasar. Pengemudi mikrolet itu berulang kali minta maaf tetapi saya enggan mendengarkan. Tetapi ketika ia mengatakan bahwa mobil itu bukan miliknya, dan ia bisa saja kehilangan pekerjaan karena insiden itu, mereduplah api kemarahan di hati saya. Dan kami bersama-sama “membereskan” insiden itu di rumah pemilik mobil itu.
Seandainya saya menolak untuk mengampuni sopir mikrolet tersebut, mungkin sepanjang hari atau malah beberapa hari hati saya dipenuhi rasa dendam dan kemarahan. Mungkin akan lebih sakit daripada lecet-lecet dan memar yang saya derita. Syukurlah saya bisa mengampuni pada waktu itu.
Sahabat-sahabat, “hutang” kita, dosa-dosa kita sebenarnya tak terbayarkan. Namun kita diampuni, ditebus dengan darah Kristus sendiri. Menjadi kewajiban kita yang telah diampuni untuk mengampuni sesama. Bukankah setiap kali kita berdoa “ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami”? Barangkali saat ini masih ada orang-orang yang belum kita ampuni. Barangkali kita masing-masing masih menyimpan kejengkelan, kemarahan, dendam terhadap orang lain. Mari kita berdoa untuk mereka yang belum kita ampuni. Mari kita juga berdoa untuk kita sendiri; agar kita memiliki hati pengampun seperti hati Yesus. Ya Hati Kudus Yesus yang Mahapengampun, jadikan hati kami seperti hati-Mu.
Ya Hati Kudus Yesus yang Mahapengampun, jadikan hati kami seperti hati-Mu.