Sabda Hidup
Sabtu, 30 Juli 2022, Sabtu Pekan Biasa XVII
Bacaan: Yer. 26:11-16,24; Mzm. 69:15-16,30-31,33-34; Mat. 14:1-12.
“Karena sumpahnya dan karena tamu-tamunya…. disuruhnya memenggal kepala Yohanes di penjara dan kepala Yohanes itupun dibawa orang di sebuah talam…. Kemudian datanglah murid-murid Yohanes Pembaptis mengambil mayatnya dan menguburkannya. Lalu pergilah mereka memberitahukannya kepada Yesus.”
(Mat 14: 9 – 12)
Injil hari ini mengetengahkan peristiwa yang tragis, yang menampilkan tiga tokoh: Herodes, Herodias, dan Yohanes Pembaptis. Herodes di sini adalah Herodes Antipas (4 SM – 39 M). Ia adalah seorang yang lemah, raja boneka yang hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah. Ia segan terhadap Yohanes Pembaptis karena Yohanes menegurnya dengan keras karena ia menceraikan Phasaelis, istri sahnya, tanpa alasan-alasan yang memadai (menurut hukum Taurat) dan kemudian mengawini Herodias, iparnya. Dengan demikian ia melakukan pelanggaran ganda terhadap Hukum Musa. Herodias sendiri adalah seorang amoral, perempuan yang rakus, ternoda oleh tiga kesalahan yang secara terbuka dikritik oleh Yohanes. Pertama, ia adalah seorang yang tidak setia dan tiak punya integritas moral. Kedua, ia rakus dan penuh dendam. Ketiga, ia adalah seorang ibu yang jahat yang memperalat puterinya yang masih remaja untuk melakukan pembunuhan, dengan mendorongnya menari pada hari ulang tahun raja di hadapan raja dan tamu-tamunya.
Yohanes Pembaptis sendiri tampil sebagai pengkotbah yang berapi-api menyerukan pertobatan dan mewartakan kedatangan Mesias. Ia dipenuhi oleh Roh Kudus dengan keberanian mengkritik dan menegur siapa saja yang melawan kebenaran.
Sesudah kematian Yohanes Pembaptis, Herodes Antipas dikalahkan oleh Aretas, ayah dari isterinya yang pertama. Kemudian Herodes dan Herodias dikirim ke pembuangan oleh Caligula, Kaisar Roma.
Sikap kompromistis dalam memegang kebenaran seharusnya tidak terjadi. Herodes tahu yang sebenarnya, namun karena kesombongan dan kepongahannya sebagai raja, dia tidak dapat tunduk mengakui kebenaran tentang cara hidupnya yang tidak bermoral. Dia mudah terpengaruh oleh hasutan pasangan hidupnya yang tidak sah. Dia lemah karena meskipun mengenal Yohanes Pembaptis sebagai orang suci, dia menyerah pada tindakan tidak bermoral untuk membunuhnya hanya untuk menyelamatkan muka.
Seberapa sering kita mengkompromikan nilai yang lebih tinggi dengan nilai yang lebih rendah? Alih-alih memperjuangkan dan membela kejujuran moral, seberapa sering kita dengan mudah membuangnya untuk kenyamanan sosial, gengsi, prestise dan kepalsuan?