Sabda Hidup
Minggu, 3 Juli 2022, Minggu Biasa IV Tahun C
Bacaan: Yes. 66:10-14c; Mzm. 66:1-3a,4-5,6-7a,16,20; Gal. 6:14-18; Luk. 10:1-12,17-20
“Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini.”
(Luk 10: 5)
Suatu ketika Yaklep dan Obet berbeda pendapat tentang suatu hal yang penting. Beda pendapat itu menjadi semakin kuat sampai-sampai mereka saling membenci, padahal mereka berdua sangat aktif di Gereja. Melihat hal itu, Tinus, teman akrab mereka menjadi sedih. “Saya harus berusaha mendamaikan mereka,” katanya dalam hati.
Maka ia menemui Yaklep dan bertanya kepadanya, “Yaklep, apa yang kau pikir tentang Obet, sahabat kita?”
“Siapa? Obet” sergah Yaklep. “Ah, menurut saya dia itu orang yang hina!”
“Tetapi,” kata Tinus, “kau harus mengakui kalau Obet itu sangat baik dan sangat perhatian terhadap keluarganya.”
“Ya, benar,” kata Yaklep. “Ia sangat baik dan sangat perhatian terhadap keluarganya.”
Hari berikutnya, Tinus menemui Obet dan bertanya kepadanya, “Engkau tahu, apa yang Yaklep bilang tentang engkau?”
“Ah, paling-paling dia berpikiran kotor. Ia pasti mengatakan hal-hal yang buruk tentang saya.”
“Salah,” kata Tinus. “Dia bilang, engkau sangat baik dan sangat perhatiann terhadap keluargamu.”
“Ah masa?” Obet meragukan apa yang disampaikan Tinus.
“Sungguh! Dia bilang engkau sangat baik dan sangat perhatian terhadap keluargamu. Lalu, apa yang kau pikir tentang Yaklep?”
Obet menjawab, “Saya pikir dia adalah seorang penipu dan bajingan.”
“Tetapi,” kata Tinus, “Engkau harus mengakui bahwa dia itu adalah orang yang jujur.”
“Ya, benar juga. Yaklep adalah seorang yang jujur. Tapi apa pentingnya bagi saya?”
Hari berikutnya, saat bertemu dengan Yaklep, Tinus berkata, “Kau tahu, Obet bilang kau adalah seorang yang jujur.”
“Ah yang benar saja,” jawab Yaklep.
“Sungguh! Saya dengar sendiri Obet bilang bahwa engkau adalah seorang yang jujur.”
Pada hari Minggu, Yaklep dan Obet bertemu di Gereja. Mereka saling menyapa dengan gembira dan saling membantu dalam pelayanan.
* * *
Salah satu tema Minggu Biasa XIV tahun C adalah DAMAI. “Aku akan mengalirkan damai seperti sungai,” tulis Nabi Yesaya dalam bacaan pertama. Ketika mengutus ketujuh-puluh murid-Nya, Yesus juga memberi instruksi: “Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini.” (Luk 10: 5).
Salah satu hal yang perlu kita lakukan, jika kita ingin menjadi pembawa damai, kita harus melihat apa yang baik dalam diri sesama.
Damai bukanlah sekadar tiadanya konflik atau ketegangan. Jika kita berpikir seperti itu, maka pergilah ke makam, tidak ada konflik, tidak ada ketegangan, tidak ada perkelahian antar penghuninya. Damai tercipta jika ada keadilan penghargaan terhadap hak-hak sesama. Misalnya, dalam sebuah perusahaan, tidak ada damai jika para karyawannya tidak digaji dengan layak. Juga tidak ada damai di antara pasangan yang sudah menikah jika salah satu pasangan terus-menerus mempermalukan yang lain. Demikian pula, tidak akan ada damai di rumah jika anak-anak tidak menghormati orang tua.
Seorang murid Kristus adalah pembawa damai. Untuk itu ia tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan pahit dari pertengkaran dan konflik dan berkata, “Itu bukan urusan saya.” Bila memungkinkan, untuk menjadi pendamai, ia harus menjadi seperti yang dikatakan Kitab Suci, menjadi “anak domba di tengah-tengah serigala” (Luk 10:3).
Yesus menyatakan berkat-Nya bagi pembawa damai ketika Dia berkata dalam Khotbah di Bukit: “Berbahagialah orang yang membawa damai; sebab mereka akan disebut anak-anak Allah.”
Mari bertanya kepada diri kita masing-masing. Apakah saya pembawa damai? Atau saya justru menyemai kebencian dan perpecahan dengan mengadu domba orang satu sama lain? Apakah saya selalu memaksakan keyakinan saya?
Yesus mengutus kita berbagi damai sejahtera-Nya. Dalam kata-kata Santo Fransiskus dari Assisi kita berdoa:
Tuhan,
Jadikanlah aku pembawa damai,
Bila terjadi kebencian,
jadikanlah aku pembawa cinta kasih,
Bila terjadi penghinaan,
jadikanlah aku pembawa pengampunan,
Bila terjadi perselisihan,
jadikanlah aku pembawa kerukunan,
Bila terjadi kebimbangan,
jadikanlah aku pembawa kepastian,
Bila terjadi kesesatan,
jadikanlah aku pembawa kebenaran,
Bila terjadi kecemasan,
jadikanlah aku pembawa harapan,
Bila terjadi kesedihan,
jadikanlah aku sumber kegembiraan,
Bila terjadi kegelapan,
jadikanlah aku pembawa terang,
Tuhan semoga aku ingin
menghibur daripada dihibur,
memahami daripada dipahami,
mencintai daripada dicintai,
sebab
dengan memberi aku menerima,
dengan mengampuni aku diampuni,
dengan mati suci aku bangkit lagi,
untuk hidup selama-lamanya.
Amin.