Sabda Hidup
Senin, 13 Juni 2022, Senin Pekan Biasa XI, Peringatan St. Antonius dari Padua
Bacaan: 1Raj. 21:1-16; Mzm. 5:2-3,5-6,7; Mat. 5:38-42
“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu…..”
(Mat 5: 38 – 39)
Sering kali, saat kita tersakiti, kita merasa perlu untuk secara pribadi melihat bahwa orang yang menyakiti kita itu membayar luka yang mereka sebabkan. Tapi dalam prosesnya, saat berpegang teguh pada balas dendam, kita justru merasa tidak bebas dan tidak bahagia. Dan yang lebih menyakitkan adalah bahwa, orang yang menyakiti kita itu bahkan tidak menyadari perasaan dan sikap kita. Dia tenang-tenang saja, happy-happy saja dan karena itu kita semakin kita tersakiti. Ungkapan ini mungkin berguna bagi kita: “Jika kita membalas kebaikan dengan kejahatan, kita jahat seperti iblis. Jika kita membalas kebaikan dengan kebaikan itu manusiawi. Jika kita membalas kejahatan dengan kebaikan, maka kita semakin menyerupai Tuhan.”
Yesus mengundang kita untuk menjadi lebih manusiawi dengan melampaui insting kita untuk secara otomatis membalas dendam dan hidup sesuai dengan martabat kita sebagai anak-anak Allah. Memang, itu tidak selalu mudah. Di mana-mana, di sekitar kita, di media sosial, bahkan di lingkungan Gereja kita jumpai orang yang membenci dan menjahati kita. Tapi itulah satu-satunya jalan menuju kehidupan dan kebahagiaan.
Yesus memberikan sebuah standar baru yang didasarkan bukan hanya pada keadilan, yaitu memberi setiap orang sesuai haknya, namun berdasarkan hukum rahmat dan kasih.
Suatu ketika, dua orang rahib tinggal di sebuah gua. Sudah lebih dari sepuluh tahun mereka tinggal di sana. Rahib yang pertama mulai bosan dengan rutinitas sehari-hari. Jadi dia punya usul kepada temannya: “Ayo, kita lakukan apa yang dunia lakukan.” Temannya menjawab: “Apa itu?” “Baiklah, mari kita bertengkar,” kata yang pertama. “Tapi bagaimana kita mulai bertengkar?” tanya rahib yang lain. Yang pertama menjelaskan: “Baiklah, ini ada sebuah batu. Mari kita mulai, mengklaim bahwa batu ini MILIKKU! “Rahib yang kedua itu diam sejenak, mengingat persahabatan mereka berdua serta semua yang telah mereka alami dan kemudian berkata: “Baiklah, saudaraku, jika batu itu ada milikmu, ambillah.” Dan sekali lagi tercipta kedamaian di dalam gua itu.
Mari kita putus rantai kekerasan dan kejahatan!