Sabda Hidup
Minggu, 21 Februari 2021, Minggu Prapaskah I Tahun B
“Roh memimpin Dia ke padang gurun. Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis. Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia.”
(Mrk 1: 12 – 13)
Seekor induk unta dan anaknya sedang bercakap-cakap. Anak unta itu bertanya kepada induknya: “Mama, mengapa kita mempunyai kaki-kaki yang besar dan panjang?” Induknya menjawab: “Supaya kita dapat berjalan melintasi padang gurun tanpa tenggelam dalam hamparan pasir.” “Lalu, mengapa kita mempunyai bulu mata yang panjang?” Induknya menjawab: “Agar mata kita terlindung dari pasir saat kita berjalan di padang gurun.” “Mama, mengapa kita mempunyai punuk yang besar-besar di punggung kita?” Induknya yang sudah mulai tidak sabar terhadap anaknya menjawab: “Anakku, kita punya punuk yang besar-besar di punggung untuk membantu kita menyimpan lemak yang berguna bagi perjalanan panjang di padang gurun, sehingga kita dapat berjalan tanpa air untuk waktu yang cukup lama.” “OK. Aku tahu sekarang!” kata si anak unta. “Kita punya kaki yang besar agar tidak tenggelam di pasir padang gurun, bulu mata yang panjang untuk menjaga mata kita dari pasir di padang gurun, dan punuk yang besar untuk menyimpan air untuk perjalanan panjang di padang gurun. Tapi Ma, mengapa kita da di kebun binatang?”
Kehidupan modern masa kini sering kali membuat kita merasa seperti unta di kebun binatang. Dan seperti unta-unta di kebun binatang itu perlu pergi ke padang gurun untuk menemukan jati dirinya, kita pun demikian. Masa Prapaskah mengundang kita masuk ke “padang gurun” untuk menemukan kembali jati diri kita.
Padang gurun dapat diartikan sebagai suatu tempat yang dipenuhi dengan pasir, berbatu-batu, tidak ada pohon, tidak ada air, pada siang hari cuacanya sangat panas dan sebaliknya pada malam hari cuacanya sangat dingin dan tidak ada apa-apa. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikannya secara singkat bahwa padang gurun adalah suatu tempat yang tidak menyenangkan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal atau tempat untuk hidup. Di tempat itulah bangsa Israel mengalami penderitaan yang selama kira-kira 40 tahun. Angka 40 tahun memiliki arti tertentu, yaitu sebagai lambang suatu masa yang sangat lama. Karena perjalanan yang sangat lama maka sebagai konsekuensinya membutuhkan ketekunan, ketahanan, dan kesabaran.
Akan tetapi, padang gurunlah tempat kelahiran umat Allah. Setelah keluar dari Mesir umat Israel terdiri dari pelbagai macam suku dan mereka tiba di tanah terjanji sebagai satu bangsa. Di padang gurunlah mereka menjadi umat Allah dengan perjanjian dengan-Nya. Dalam sejarah mereka, ketika kasih dan kesetiaan mereka kepada Allah menjadi dingin, para nabi akan mengajak mereka untuk kembali ke padang gurun untuk menemukan kembali identitas mereka, panggilan mereka dan perutusan mereka. Dengan itu iman mereka dibangkitkan kembali dan perjanjian mereka dengan Allah dikuatkan kembali. Nabi Elia dan Yohanes Pembaptis adalah orang-orang padang gurun: mereka hidup di padang gurun, makan apa yang diberikan oleh padang gurun dan hidup bersahaja di padang gurun. Padang gurun, adalah tempat di mana Allah mendidik umat-Nya.
Dalam Injil hari ini kita dengan bahwa sesudah dibaptis “Roh memimpin Dia ke padang gurun. Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis. Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia.”
Di padang gurun kita dapat mengalami perjumpaan yang bermakna dengan Roh Kudus tetapi kita juga dapat bertemu dengan Setan, kita dapat bertemu dengan binatang-binatang liar dan juga malaikat. Padang gurun adalah tempat di mana Yesus belajar membedakan antara suara Allah yang harus ia taati dan suara Iblis yang mencobai-Nya. Berapa banyak suara yang kita dengar sejak kita bangun di pagi hari hingga saat kita berangkat tidur di malam hari? Tak terhitung jumlahnya: suara tv atau radio, suara orang-orang yang hidup dan bekerja dengan kita, dan masih banyak lagi, termasuk suara batin kita sendiri. Di padang gurun kita dapat meninggalkan sebagian besar suara-suara itu dan dalam keheningan kita dapat membedakan suara Allah yang menuntun kita dan suara Iblis yang mencobai kita.
Di padang gurun kita dapat menjumpai diri kita sendiri, kekuatan dan kelemahan serta panggilan ilahi kita. Di padang gurun Yesus berjumpa dengan binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat. Ada binatang-binatang liar dan malaikat dalam diri kita masing-masing. Sering kali, kita gagal mengenali binatang-binatang liar dalam diri kita dan jatuh dalam kesombongan, atau kita gagal mengenali malaikat dalam diri kita dan kita menyerah pada rasa benci terhadap diri sendiri. Namun dalam keheningan, di padang gurun, kita menjumpai diri kita apa adanya, kita dapat berdamai dengan binatang liar dan malaikat dalam diri kita dan kemudian kita mulai mengalami damai dalam diri kita.
Masa Prapaskah adalah masa padang gurun bagi kita. Kita tidak perlu naik unta dan pergi ke padang gurun Arabia atau gurun Sahara, tetapi kita dapat menciptakan “padang gurun” dalam keramaian dan kebisingan hidup kita. Kita dapat menyediakan waktu untuk sendiri bersama dengan Tuhan setiap hari, waktu untuk menjaga jarak dengan segala kebisingan dan suara-suara yang membombardir hidup kita setiap hari, waktu untuk mendengar Sabda Allah, waktu untuk menemukan kembali siapa diri kita di hadapan Allah, waktu untuk berkata “YA” kepada Allah dan “TIDAK” kepada Iblis seperti yang dilakukan oleh Yesus. Selamat memasuki padang gurun!
Bacaan Misa hari ini: Kej. 9:8-15; Mzm. 25:4bc-5ab,6-7ab,8-9; 1Ptr. 3:18-22; Mrk. 1:12-15.