Tiga orang ibu sedang ngerumpi. Mereka sedang membicarakan anak-anak mereka dengan bangga. Ibu yang pertama bilang: “Anak saya baru saja diangkat jadi Vikjen. Jadi setiap orang sekarang menyapa Yang Terhormat Romo Vikjen…..” Ibu yang kedua juga membanggakan anaknya. “Wah, anak saya malah dipilih jadi Uskup. Jadi semua orang menyapanya Yang Mulia…” Ibu yang ketiga mulai berpikir, koq pada membanggakan anak-anak mereka yang punya jabatan tinggi ya…. Lalu ia bilang, “kalau anak saya sih waktu di pendidikan kurang cemerlang. Tapi sekarang dia jadi pastor yang disayangi sama umatnya. Karena terlalu disayang, diberi makan yang enak-anak, perutnya jadi gendut. Karena saking gendutnya setiap orang yang melihatnya bilang, “Ya Tuhan….” Hehehe….
Sampai sekarang para pemimpin gereja tetap disebut dengan “gelar” kehormatan. Seorang imam dipanggil Bapa, Pater, Romo. Pemimpin komunitas religius disebut “superior”; Bapa Uskup disapa “Yang Mulia”; dan malahan Paus disebut “Bapa Suci”. Orang mungkin bertanya… apakah itu tidak berlawanan dengan yang kita baca dalam Injil hari ini?
“Janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias,” (Mat 23: 8 – 10).
Tentu apa yang dikatakan oleh Yesus bukan untuk dimengerti secara harafiah. Yesus berbicara lebih tentang sikap dan perilaku, bukan soal terminologi atau istilah. Kalu Yesus hanya berbicara tentang istilah, nanti kita tidak dapat menyebut ayah kita Bapa, atau Abah, atau Bokap…
Jelas, tidak ada yang salah tentang sebutan kehormatan dan jabatan. Yang tidak benar adalah bahwa otoritas digunakan semata-mata untuk kemuliaan dan kepentingan pribadi tanpa memperhatikan pelayanan yang rendah hati kepada banyak orang. Apa yang dikecam bukanlah otoritas tapi otoritarianisme. Pesan Injil adalah peringatan yang jelas bagi para pemimpin tentang bagaimana melayani.
Namun, itu berlaku juga bagi kita. Apakah kita terlalu mencari pencitraan, selalu berusaha untuk “terlihat baik” di mata orang lain? Kita tidak mengutamakan Tuhan yang melihat yang tersembuyi tapi terlalu peduli dengan prestise pribadi kita. Bukankah kita merasa senang kalau orang memperlakukan kita sebagai orang istimewa? Adakah sesuatu yang lebih absurd daripada seorang uskup atau pastor yang tampil sebagai selebriti?