Natal adalah perayaan yang membahagiakan. Paling tidak, untuk beberapa umat di sebuah paroki. Pastor Parokinya menyebalkan. Banyak kebijakan yang diputuskan sendiri, tidak sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibicarakan sebelumnya. Natal menjadi saat yang membahagiakan karena dapat menyanyi keras-keras lagu Puji Syukur 455 atau Madah Bakti 357, khususnya di bagian awal lagu: “Gembala pergilah cepat-cepat!” Hehehehe…. yang jelas bukan di Paroki di mana saya bekerja, karena saya tidak diutus sebagai Pastor Paroki.
Berbicara tentang gembala – bukan gembala paroki – orang-orang pertama yang mengalami kedatangan Sang Juruselamat adalah para gembala, orang-orang sederhana dan tidak berpendidikan yang tinggal di antara binatang. Mereka bukan satu-satunya, tentu saja, tapi merekalah yang pertama menyambut sang penyelamat.
Bukan kebetulan bahwa orang-orang sederhana seperti itu yang dipanggil terlebih dahulu untuk memberi penghormatan kepada Sang Penyelamat. Bagaimanapun, Kristus datang lebih dulu sebagai Tuhan dan Penebus bagi yang rendah. Kondisi kelahirannya pun dalam segala kerendahan dan kesederhanaan: Dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7).
Sejak yang pertama, Natal itu sederhana. Komersialisasi Natal sering kali membuat kita lupa akan hal itu. Barangkali tahun ini kita sedikit dipaksa untuk kembali kepada yang sederhana itu.
Pandemi Covid-19 memaksa kita merayakan Natal tanpa hal-hal yang secara tradisional membuat perayaan itu spesial – saling berkunjung, berpesta, belanja ini dan itu, bertukar hadiah, dan bahkan di banyak tempat belum bisa merayakan Natal di gereja. Kami di Merauke sedikit lebih bersyukur karena dapat merayakan Natal di gereja tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat. Merauke yang pernah mengalami nol kasus Covid, sehari menjelang Natal jumlah pasien Covid yang dirawat mencapai 90 orang dan yang meninggal sudah 3 orang. Suatu peningkatan tajam yang mengkhawatirkan dalam beberapa hari.
Banyak dari kita sedang berduka karena kehilangan sahabat atau anggota keluarga karena penyakit itu. Yang lain masih ada dalam kecemasan dan kekhawatiran dalam saat-saat karantina atau isolasi diri. Banyak yang kehilangan pekerjaan dan tertindih beban ekonomi yang menjadi semakin sulit. Anak-anak sudah rindu sekolah. Banyak ahli yang mengatakan bahwa situasi dapat menjadi lebih buruk bulan Januari ini atau bulan-bulan berikutnya hingga vaksin tersedia secara lebih luas untuk memerangi pandemi ini.
Meski banyak hal dulucuti dari Natal yang biasa kita rayakan, satu kata tetap tinggal di sana: BETLEHEM.
Suka atau tidak, kita “dipaksa” untuk merayakan Natal dengan segala hal dilucuti, kecuali fakta bahwa Kristus ada bersama kita, tidak sebagai patung bayi mungil di kandang atau gua natal dari kardus, bukan sebagai bagian lagu-lagu dan kisah-kisah natal, bukan dalam segala macam komersialisasi yang sering mengalihkan fokus perayaan kita, tetapi dalam fakta sederhana ini: Allah beserta kita, Imanuel.
Allah beserta kita dalam situasi yang terburuk sekalipun. Allah beserta kita dalam segala kemiskinan kita. Allah beserta kita bukan untuk membuat segala hal yang kita inginkan terpenuhi, tetapi Ia bersama kita, berbagi kebingungan, kecemasan, kekhawatiran, kesakitan dan kematian kita. Itulah makna Betlehem.
Tahun ini, Natal adalah Allah berserta kita. Itu saja. Jika Natal Covid ini mengajar kita sesuatu, tahun depan kita dapat merayakannya dengan makna perayaan Natal yang sesungguhnya, tanpa terjebak pada hal-hal yang mengalihkan kita pada fokus Natal yang sebenarnya: Imanuel.