Sabda Hidup
Sabtu, 13 Maret 2021
Narcissus (YunANI: Νάρκισσος, Nárkissos) adalah seorang pemburu dari Thespiae di Boeotia yang terkenal dengan ketampanannya. Dia adalah putra dewa sungai Cephissus dan Nimfa Liriope. Dia bangga, karena dia dapat meremehkan orang-orang yang mencintainya. Nemesis melihat perilaku ini dan membawa Narcissus ke sebuah kolam, di mana ia melihat bayangannya sendiri di dalam air dan jatuh cinta padanya, tanpa menyadari bahwa itu hanyalah bayangannya sendiri. Karena tidak dapat meninggalkan ‘kecantikan’ bayangannya, Narcissus kehilangan semangat hidup. Dia menatap bayangannya sampai mati. Dari namanya kita mengenal istilah narsisisme, suatu fiksasi terhadap diri sendiri. Dalam psikologi, narsisistik adalah gangguan kepribadian dimana ada pola perilaku abnormal jangka panjang yang ditandai dengan merasa diri penting secara berlebihan, kebutuhan yang berlebihan akan kekaguman, dan kurangnya pemahaman akan perasaan orang lain.
Sikap orang Farisi dalam perikope Injil hari ini mengingatkan saya akan gangguan narsisistik ini. Ia dengan bangga membebeberkan keberhasilannya, Ia membandingkan diri dengan pemungut cukai dan orang lain: “aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini,” (Luk 18: 11). Sedangkan si pemungut cukai itu “berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini,” (Luk 18: 13). Dan Yesus mengatakan bahwa pemungut cukai ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan oleh Allah. Kita seperti pemungut cukai ini, kita adalah orang-orang berdosa. Tak seorangpun dibenarkan atau ditebus tanpa rahmat Allah.
Dari perikope Injil hari ini kita dapat belajar tentang kerendahan hati sebagai pengikut Kristus:
Pertama, kerendahan hati muncul dari patokan kita dalam mengukur diri sendiri. Kita tahu bahwa kesombongan selalu mulai dari membandingkan diri kita sendiri dengan orang lain. Tetapi Yesus mengatakan bahwa satu-satunya pribadi yang patut untuk dibandingkan adalah Allah Bapa. “Hendaklah kamu sempurna, seperti Bapa adalah sempurna,” (Mat 5: 48). St. Augustinus juga menegaskan bahwa ada tiga keutamaan dasar bagi kesucian atau kesempurnaan: kerendahan hati, kerendahan hati, dan kerendahan hati. Jika kita ingin hidup rendah hati, maka kita harus mengarahkan pandangan kita kepada kesempurnaan Allah dan bukan sesama.
Kedua, hendaknya kita berdoa kepada Allah dalam kerendahan hati dan bukan kesombongan. Doa yang rendah hati berkenan kepada Allah. Allah mendengar doa-doa kita jika kita menghadap-Nya dengan rendah hati.
Ketiga, kerendahan hati diikuti oleh kasih. Kita seringkali cenderung menghakimi sesama. Kita membandingkan diri kita dan menghancurkan reputasi orang lain dengan kritik dan fitnah. Kerendahan hati mengarahkan kita pada kesadaran akan anugerah-anugerah yang diberikan kepada kita oleh Allah. Semakin banyak kita diberi, semakin kita diharapkan untuk berbagi dalam kasih terhadap sesama.
Selamat pagi, selamat berakhir pekan. Semoga kita semakin hari semakin rendah hati.
Bacaan hari ini: Hos. 6:1-6; Mzm. 51:3-4,18-19,20-21ab; Luk. 18:9-14.