Sabda Hidup
Selasa, 12 Juli 2022, Selasa Pekan Biasa XV
Bacaan: Yes. 7:1-9; Mzm. 48:2-3a,3b-4,5-6,7-8; Mat. 11:20-24.
“Lalu Yesus mulai mengecam kota-kota yang tidak bertobat, sekalipun di situ Ia paling banyak melakukan mujizat-mujizat-Nya.”
(Mat 11: 20)
Dalam Injil hari ini Yesus mengungkapkan kemasygulan-Nya terhadap kota-kota Chorazin, Betsaida, dan Kapernaum di mana Ia melakukan banyak mujizat. Yesus melihat bahwa mukjizat tidak menghasilkan pertobatan pada diri mereka mereka. Yesus membandingkan mereka dengan orang-orang dari Sodom dan kota-kota non-Yahudi di Tirus dan Sidon yang tentu akan menanggapi mukjizat-mukjizat itu dengan pertobatan. Orang-orang dari kota-kota yang dikecam Yesus tetap tidak percaya bahwa Yesus adalah Mesias dan mukjizat-Nya tidak membawa pesan apa-apa.
Apa yang diperlukan untuk mengubah hidup kita dan bertobat kembali kepada kekudusan? Sampai hukuman menimpa kita? Sampai penderitaan dan malapetaka menimpa? Sampai kita dipermalukan? Sayangnya, keberdosaan kita sering kita anggap biasa-biasa. Atau bahkan kita merasa tidak perlu bertobat dan mengakui dosa-dosa kita. Kadang-kadang kita membutuhkan tanda yang nampak untuk menyadari efek dan akibat dosa yang esensial dan radikal. Tetapi bagi orang yang keras hati, itu saja tidak cukup. Itulah yang terjadi pada orang-orang Chorazin, Betsaida, dan Kapernaum. Kita mungkin juga akan mengatakan hal yang sama kepada banyak orang saat ini yang tenggelam dalam dosa dan tidak mau mengenali tanda-tanda zaman dan ajakan untuk bertobat.
Kita mungkin merasa tidak nyaman dengan memandang Yesus sebagai hakim yang memberikan ancaman mengerikan seperti dalam Injil hari ini. Kita mungkin lebih suka kata-kata manis tentang cinta dan persaudaraan universal, karena kata-kata dan teguran keras membuat kita gelisah tentang kebenaran diri kita sendiri. Kecaman Yesus juga diarahkan kepada kita dan cara hidup masyarakat kita, jika kita tidak berubah. Kita juga diharapkan memberikan tanggapan yang memadai terhadap undangan untuk bertobat.
Sahabat-sahabat, mukjizat-mukjizat Tuhan terjadi dalam hidup kita setiap hari. Apakah kita menyadari rahmat itu? Apakah itu mengubah hidup kita? Apakah saya terus menerus mengusahakan pertobatan? Atau sudah puas diri tinggal dalam kemapanan?