Remah Harian

MERETAS BATAS

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Kamis, 13 Januari 2022, Kamis Pekan Biasa I
Bacaan: 1Sam. 4:1-11Mzm. 44:10-11,14-15,24-25Mrk. 1:40-45.

“Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”

(Mrk 1: 40 – 41)

Dalam Injil hari ini dikisahkan seorang yang berpenyakit kusta memohon kepada Yesus, jika Ia mau menyembuhkannya (Mrk 1: 40 – 45). Tentu Yesus mau menyembuhkannya, karena Ia menghendaki kehidupan yang utuh. Perjumpaan Yesus dengan penderita kusta ini diceriterakan dalam tiga Injil Synoptik (Lk 5: 12 – 16; Mat 8: 1 – 4). Bagi orang Israel waktu itu, yang disebut “kusta” mencakup macam-macam penyakit kulit – tidak seperti yang kita mengerti seperti sekarang ini sebagai penyakit kusta. Mereka yang berpenyakit “kusta” dianggap dihukum karena dosa-dosa mereka dan dianggap najis, sehingga mereka harus dikucilkan dari orang-orang yang lain. Hukum menjaga orang yang lain dari orang-orang kusta, tetapi hukum tidak dapat mentahirkan mereka. Hanya imam – bukan tabib – yang dapat menyatakan bahwa mereka bebas dari penyakit itu dan sehingga mereka dapat kembali kepada masyarakat setelah upacara pentahiran. Akan tetapi berbeda dengan aturan itu, Yesus meretas batas, menjamah orang kusta itu untuk menyembuhkannya. Meski demikian, Yesus memerintahkan kepada orang kusta itu untuk memenuhi apa yang dituntut oleh Hukum, dengan memperlihatkan dirinya kepada imam.

Dua hal diajarkan oleh Yesus melalui peristiwa ini. Pertama, Yesus mengajarkan kepada kita bahwa tidak cukup kita mengasihi dari kejauhan. Bagi Yesus tidak ada LDR hehehe….. Dalam arti, tidak cukup kita sekadar prihatin dari kejauhan. Penyembuhan mengandaikan keterlibatan, bukan hanya uang, waktu, tenaga… tetapi di atas semuanya itu perlu keterlibatan pribadi. Penyembuhan perlu sentuhan manusiawi kita sebagai bentuk peneguhan, perhatian, penerimaan. Apalagi penyembuhan bagi mereka yang ditinggalkan, disingkirkan, dipinggirkan.

Barangkali dari kita ada kekhawatiran tersendiri ketika harus kontak dengan orang yang sakit dan menderita  sehingga merasa lebih aman jika kita menjaga jarak – “Ah itu bukan sa pu urusan…” “Peduli amat…” “Ah saya tra mau dilibatkan….” Tetapi Yesus menunjukkan kepada kita bahwa bagi-Nya mengasihi dari kejauhan tidak cukup. Ia sendiri adalah KASIH yang menjadi daging dan tinggal di tengah-tengah kita.

Kedua, kita belajar untuk mempunyai iman dan keberanian seperti si penderita kusta. Si kusta sendiri tidak tenggelam dalam rasa kasihan terhadap diri sendiri. Karena keberaniannya memohon maka Yesus juga tergerak oleh kasih dan menjamahnya: “Aku mau. Jadilah engkau tahir!” Saat anda mengalami kesulitan, mengalami penderitaan, “usah kau simpan lara sendiri”. Kita perlu terbuka kepada orang lain, terlebih terbuka kepada Yesus dengan penuh iman.

Sahabat-sahabat terkasih, inkarnasi menyiratkan bahwa Tuhan datang untuk menyentuh hidup kita dengan cara yang sangat nyata, apapun kondisi kita. Si penderita kusta tidak yakin apakah Yesus ingin menyembuhkannya, seperti nampak dari apa yang ia katakan kepada Yesus, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Namun Yesus menunjukkan bahwa Ia mau menyembuhkannya, bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan menjamah dia.

Yesus pun ingin menjamah seluruh hidup kita. Ia ingin kita hidup, hidup dalam kepenuhan. Tak ada suatu apapun yang menghalangi sentuhan-Nya. Seperti Paulus katakan “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Rom 8: 35). Tuhan menjamah hidup kita, di manapun, kapanpun, dalam situasi apapun. Yang kita butuhkan hanyalah inisiatif dari kita, membuka diri, mendekatkan diri, seperti si penderita kusta.

Kita yang dijamah dan disembuhkan oleh-Nya pada giliran-Nya diutus untuk “menjamah” orang lain dengan kasih yang menyembuhkan dan memulihkan. Kita diutus untuk menjadi tanda dan sarana rekonsiliasi dalam dunia yang terpecah-belah. Dengan sentuhan yang menyembuhkan, Yesus tidak hanya memberikan kesembuhan fisik kepada si kusta. Ia memulihkan hubungan si kusta dengan keluarga, sahabat-sahabatnya dan masyarakat. Si kusta telah menderita karena disingkirkan, dan kini ia didamaikan kembali dengan orang lain. Kita pun diutus untuk menjadi tanda dan sarana persatuan dan rekonsiliasi ketika ada perpecahan dan pengasingan. Seperti Yesus, kita pun harus berkomitmen untuk membangun jembatan, bukan pemisahan.

Author

Write A Comment