Sabda Hidup
Minggu, 3 Januari 2021, Hari Raya Penampakan Tuhan
“Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.”
(Mat 2: 2)
Para majus dari Timur dengan tekun mencari dan menyembah adalah tujuan perjalanan mereka. Seperti dikisahkan dalam Injil, ketika mereka tiba di Betlehem, “mereka melihat Bayi Yesus dengan Maria ibuNya, mereka segera sujud dan menyembah-Nya” (ayat 11). Para Majus tampil sebagai pribadi yang menyembah. Tetapi perikope ini juga mengisahkan pribadi lain yang tidak mampu menyembah, yaitu Herodes, Imam kepala dan para ahli Taurat.
Untuk permenungan kita hari ini, saya ringkaskan homili Bapa Suci Paus Fransiskus tentang “menyembah”, untuk Hari Raya Penampakan Tuhan ini.
Pertama, menyembah dengan tulus. Kepada para Majus, Herodes berkata: “Pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia,” (Mat 2: 8). Apakah Herodes ingin sungguh-sungguh menyembah-Nya? Herodes menggunakan kata “menyembah” tetapi pada kenyataannya, ia menipu. Ia berbohong. Pada kenyataannya, Herodes hanya meninggikan dirinya sendiri, dengan berpura-pura ingin menyembah Anak yang baru dilahirkan, padahal itu hanya sebuah kebohongan. Bagaimanakah kita menyembah Tuhan? Bukankah acap kali kita berdoa kepada-Nya bukan dengan sikap menyembah tetapi “memanfaatkan” Dia demi kepentingan kita?
Kedua, menyembah berarti bertemu dengan pribadi yang mencintai. Selain Herodes ada orang lain yang tidak dapat menyembah. Mereka adalah imam kepala dan ahli Taurat. Mereka mampu menunjukkan kepada Herodes dengan sangat tepat di mana Mesias akan lahir: di Betlehem di Yudea (lih. ayat 5). Mereka tahu nubuat, mereka mengutipnya dengan tepat. Mereka tahu ke mana harus pergi, tetapi tidak pergi. Dalam kehidupan beriman, tidak cukup kita tahu semua ajaran, hafal semua doktrin, tidak cukup punya ide-ide yang baik, tetapi kehidupan beriman harus menjadi suatu relasi pribadi dalam kasih. Kita menyembah karena kita berjumpa dengan Pribadi yang hidup dan mengasihi kita.
Ketiga, menyembah berarti menempatkan Yesus sebagai pusat hidup. Menyembah berarti menempatkan Tuhan sebagai pusat agar tidak terpusat pada diri kita sendiri lagi. Itu memberi ketertiban yang benar untuk segala sesuatunya. Penyerahan diri kepada Tuhan menjadi yang utama. Menyembah adalah mendahulukan rencana Tuhan, waktu saya, hak saya, ruang saya. Bukankah menyembah berarti keluar dari diri sendiri dan dengan rendah hati menempatkan Dia sebagai yang lebih utama? Melalui penyembahan, kita belajar untuk menolak apa yang tidak boleh disembah: uang, konsumsi, kesenangan, kesuksesan, ego kita. Memuji dan menyembah, membuat diri kita kecil di hadapan Yang Mahatinggi, dan menemukan kebesaran hidup bukan untuk memiliki, tapi untuk mencintai.
Kempat, menyembah berarti bertemu dengan Yesus untuk tinggal bersamaNya, untuk menemukan sukacita dan damai, melalui pujian dan syukur. Dengan menyembah-Nya, kita mengizinkan Yesus menyembuhkan dan mengubah hidup kita. Kita membiarkan Tuhan mengubah kita dengan kasih-Nya, menerangi kegelapan kita, memberi kita kekuatan dalam kelemahan dan keberanian dalam pencobaan.
Penyembahan menjadi tindakan cinta yang mengubah hidup. Seperti yang dilakukan para Majus, mereka membawa emas, untuk mengatakan bahwa tidak ada yang lebih berharga dari pada Dia; mempersembahkan dupa/kemenyan, untuk mengatakan hanya melalui Dia, hidup kita diangkat ke atas dan menjadi berharga; mempersembahkan mur, dengan tubuh-Nya yang terluka, menderita dan hancur diurapi.
Apakah saya seorang Kristiani yang sering datang dan menyembah-Nya. Apakah saya menyembah-Nya dengan benar? Apakah saya berusaha memberikan waktu yang cukup untuk memuji dan menyembah-Nya?
Bacaan Misa hari ini: Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12
Renungan dari perspektif yang berbeda; TIGA RAJA