Sabda Hidup
Jumat, 24 September 2021, Jumat Pekan Biasa XXV
Bacaan hari ini: Hag. 2:1b-10; Mzm. 43:1,2,3,4; Luk. 9:19-22.
Jika Yesus mengajukan pertanyaan yang sama kepada kita seperti yang Dia ajukan kepada Petrus, jawaban apa yang dapat kita berikan kepada-Nya? “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Sejak kita masih kecil, orang tua, guru, katekis, para imam dan banyak lagi yang telah berbicara kepada kita tentang Yesus. Kita mungkin telah membaca banyak artikel dan buku yang ditulis tentang Yesus. Sebagian dari kita mungkin pernah menonton film, Jesus of Nazareth atau Passion of Christ. Namun, semua informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber itu tidak dapat memberi kita jawaban yang pasti. Informasi hanya dapat membantu kita menemukan jawaban. Masing-masing dari kita harus menemukan jawaban melalui kontemplasi dan kontemplasi ini adalah proses yang berkelanjutan. Tidaklah perlu bahwa kita semua mengungkapkan jawaban kita dengan kata-kata yang sama. Ekspresi jawaban kita bisa berbeda tergantung dari cara kita memahami pribadi Yesus.
Bagi saya Yesus adalah pribadi yang telah menunjukkan kepada saya JALAN untuk menemukan makna dan kepenuhan HIDUP. Dia adalah panutan bagi saya dan Dialah yang menguatkan saya dalam perjalanan hidup saya. Cara untuk menemukan makna dalam hidup adalah KASIH, kasih yang dapat diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda: pengampunan, belas kasih, kepekaan, pengorbanan dll. Kasih pada akhirnya adalah memberi, memberi tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Itulah sebabnya Yesus memberi kita perintah kasih sebagai pesan perpisahan-Nya, “Inilah perintah-KU: kasihilah seorang terhadap yang lain, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tak ada kasih yang lebih besar dari kasih seorang yang memberikan nyawanya bagi sahabatnya”. Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa mereka akan dihakimi pada akhir kehidupan berdasarkan pengamalan kasih: belas kasih dan kepekaan terhadap yang membutuhkan (Mat. 25:31-46).
Yesus pernah juga berkata kepada murid-murid-Nya bahwa bukan mereka yang memanggil-Nya, “Tuhan, Tuhan” yang akan masuk dalam Kerajaan Alah, tetapi mereka yang melaksanakan kehendak Allah; dan melaksanakan kehendak-Nya itu tak lain dan tak bukan adalah kasih tanpa pamrih kepada sesama, kasih yang melampaui batas-batas keluarga, agama, golongan, ras dan sebagainya. Yesus telah menunjukkan hal itu dengan memperluas cakrawala pandangan kita tentang kasih dan mempraktekkan kasih yang inklusif. Sering kali saya sendiri terperangkap dalam identitas sempit seperti suku, agama, ras, atau golongan. Doa yang Ia ajarkan, Bapa Kami, juga merupakan undangan untuk mempunyai pandangan yang lebih luas dan inklusif.
Setiap diri kita mempunyai benih-benih keilahian dalam diri kita. Yesus adalah panutan saya dalam memaksimalkan ke-Ilahi-an dalam diri saya. Yesus, karena kesatuan-Nya dengan Bapa, karena selalu dalam komunikasi dengan Bapa (doa), selalu sadar akan Yang Ilahi dalam diri-Nya dan memaksimalkan keilahian itu. Itulah sebabnya, ketika Ia menanggapi kebutuhan orang, terjadilah mukjizat; Ia dapat berbicara dengan penuh kuasa; dan bahkan Ia dapat menegur keras para pemimpin agama: ahli-ahli Taurat dan para Farisi. Kekuatan, keberanian, kepekaan, pengampunan dan bela rasa yang luar biasa itu adalah hasil dari memaksimalkan kodrat Ilahi-Nya. Yesus pernah berjanji, siapapun yang mempunyai iman sebiji sesawi saja, dapat melakukan hal-hal besar.
Refleksi dan kontemplasi atas pribadi Yesus, Sabda, dan Karya-Nya akan membantu dan menuntun saya menjadi pelaksana kasih yang inklusif itu. Setiap hari, saya harus bertanya, sudahkah aku semakin mengasihi seperti Dia mengasihi? Sudahkan aku semakin hari semakin serupa dengan-Nya?