Sabda Hidup
Sabtu, 26 Desember 2020, Pesta St. Stefanus
“Kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.”
(Mat 10: 22).
Apa hubungan antara Natal dan Salib? Kita semua tahu bahwa jika kita ingin memasuki Kerajaan Allah kita harus memikul salib kita dan mengikuti jejak-Nya. Tidak ada cara lain untuk berada di sana selain jalan salib. Inilah yang diharapkan oleh Yesus terhadap para murid-Nya jika kita mengikuti-Nya; yaitu memikul salib dengan keberanian dan harapan. Dan alasan utama mengapa Yesus menjadi manusia seperti kita adalah untuk menyelamatkan dan menebus kita dari dosa dan maut dan memberi kita kehidupan baru sebagai anak-anak Allah. Inilah hubungan mengapa Yesus dilahirkan dan mati untuk kita.
Orang kudus kita hari ini adalah martir Kristen pertama dalam Gereja yang mati demi Kristus. Kita mungkin bertanya mengapa kita merayakan pestanya pada hari setelah Natal di mana kita masih dipenuhi dengan sukacita dan memiliki kenangan sentimental tentang Natal. Ini untuk mengingatkan kita akan alasan Kedatangan Yesus. Kisah Natal bukan hanya tentang romantisme bayi Yesus tetapi awal dari kehidupan yang akan berakhir di kayu Salib. Kedatangan Yesus adalah panggilan untuk komitmen atau jika tidak, panggilan untuk mati sebagai martir. Kita menyebut St. Stefanus sebagai proto-martir karena ia memberi kita contoh tentang bagaimana mengikuti Yesus dan mati untuk-Nya. Bahwa untuk benar-benar menjadi martir, tidak cukup untuk dibunuh karena Yesus tetapi kita harus mati seperti Yesus.
St. Yohanes Paulus II berkata:
“Hari ini, dalam kerangka Natal yang menggugah, kita mengingat Santo Stefanus, martir pertama. Sejarahnya memberikan kesempatan kepada kita untuk merenungkan makna mendalam dari Natal, yang telah diterangi oleh misteri paskah tentang kematian dan kebangkitan Kristus. Contoh Proto-martir tentang kepatuhan yang setia kepada-Nya mendorong kita untuk bersaksi tanpa kompromi tentang nilai-nilai Injil, dalam kepastian bahwa hanya dalam kepatuhan tanpa pamrih terhadap firman Allah dan dalam pemberian diri yang murah hati bagi saudara-saudari kita, kita mencapai kepenuhan dan otentisitas hidup.”
(Angelus, 26 Desember 1995)
Mengikuti teladan Tuhan, St. Stefanus menyerahkan rohnya kepada Tuhan. Dia berkata, “Tuhan Yesus, terimalah rohku,” (Kisah Para Rasul 7:59). Dia juga berdoa mohon pengampunan bagi mereka yang membunuhnya: “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini terhadap mereka,” (Kisah Para Rasul 7:60). Karena itu, seorang martir Kristen tidak mati dalam kebencian dan berseru untuk membalas dendam. Kasih-Nya bagi Kristus meluap kepada mereka yang menganiaya dia. Dia juga dengan sempurna meneladan Yesus Kristus dengan menyerahkan diri kepada Allah serta mengampuni musuh.
Mungkin tidak setiap orang dari kita akan memiliki kesempatan untuk mati sebagai martir karena iman Katolik. Tetapi jika kita setia kepada Kristus, kita akan memiliki bentuk kemartiran yang berbeda seperti berkorban dalam keseharian dan tuntutan kasih serta pemberian diri setiap hari kepada anak-anak, keluarga, sahabat, dan rekan kerja kita. Tindakan amal kecil dan terus-menerus dilakukan dengan banyak cinta membuat kita menumpahkan darah kita setetes demi setetes, hari demi hari. St. Theresa dari Calcutta pernah berkata, bahwa kita tidak dipanggil untuk melakukan hal yang besar, tetapi untuk melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.”
Bacaan Misa hari ini: Kis. 6:8-10; 7:54-59; Mzm. 31:3cd-4,6,8ab,16bc,17; Mat. 10:17-22.