Sabda Hidup
Jumat, 30 September 2022, Peringatan St. Hieronimus
Bacaan: Ayb. 38:1,12-21; 39:36-38; Mzm. 139:1-3,7-8,9-10,13-14ab; Luk. 10:13-16
“Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.”
(Luk 10: 16)
Yesus menunjukkan hubungan ganda dalam kutipan di atas dari Injil Lukas 10: 16. Ia menunjuk hubungan kita dengan-Nya dan hubungan-Nya dengan Bapa yang mengutus-Nya. Dengan demikian, jika anda bertindak sungguh-sungguh sebagai alat-Nya, dan orang lain mendengarkan apa yang anda sampaikan, maka orang itu juga mendengar Yesus dan mendengar Bapa di surga. Jika orang menolak apa yang anda sampaikan ia menolak Yesus dan menolak Bapa.
Satu hal yang dinyatakan di sini adalah tanggungjawab luar biasa yang kita semua miliki, yakni membawa kasih dan kerahiman Bapa kepada mereka yang kita jumpai setiap hari. Percayalah, kita mempunyai kapasitas untuk sungguh-sungguh menjadi alat-Nya. Dengan menyatakan hubungan kita dengan diri-Nya dan dengan Bapa, Yesus mengangkat martabat kita pada tingkat yang luar biasa.
Dipandang dari sisi yang lain, apa yang dinyatakan oleh Yesus juga menunjukkan bahwa orang lain, siapa saja, dapat bertindak sebagai alat-Nya bagi kita. Dengan demikian, jika seseorang datang kepada kita dan bertindak atas nama-Nya, dan kita mendengarkannya, kita mendengarkan Yesus. Tetapi jika kita menolaknya, maka kita juga menolak Yesus. Bahkan menolak Bapa yang mengutus-Nya. Sampai pada titik ini mari kita perhatikan, bagaimana kita memperlakukan sesama. Kita harus menyadari bahwa orang lain pun dapat menjadi alat-Nya untuk menyampaikan apa yang Tuhan kehendaki kepada kita. Tuhan juga berbicara melalui orang-orang lain atas banyak cara. Pengakuan ini membutuhkan kerendahan hati untuk mendengarkan.
Mari kita renungkan, betapa besar karunia dan tanggungjawab yang Tuhan berikan kepada kita: menjadi alat-Nya. Bagaimanakah saya melaksanakan tanggungjawab itu? Dengan sungguh-sungguh? Mari kita juga lihat kembali, bagaimana kita memperlakukan orang lain. Bagaimanakah sikap saya terhadap sapaan dan teguran Tuhan melalui orang lain? Apakah saya cukup rendah hati mendengarkan? Apakah saya membuka hati saya terhadap teguran Tuhan melalui sesama? Apalagi jika teguran-Nya itu mengejutkan dan menyakitkan…. Apalagi jika teguran-Nya mengusik kenyamanan….
St. Hieronimus
Hari ini kita peringati St. Hieronimus, seorang pujangga besar Gereja yang sangat berperan dalam penerjemahan Kitab Suci. Hieronimus lahir di Strido, sebuah daerah di perbatasan Pannonia dan Dalmatia, pada abad ke-4. Ayahnya mengajarkan agama dengan baik kepadanya, tetapi mengirim Hieronimus ke sebuah sekolah kafir yang terkenal. Di sekolah tersebut, Hieronimus mulai menyukai tulisan-tulisan kafir dan cintanya kepada Tuhan mulai luntur. Namun demikian, persahabatannya dengan sekelompok orang-orang Kristiani yang kudus, yang menjadi sahabat-sahabat dekatnya, membuatnya berbalik kembali sepenuhnya kepada Tuhan.
Karena hasratnya yang menggebu-gebu untuk hidup bermatiraga, Ia lalu meninggalkan kota Roma untuk menyepi ke padang gurun. Selama beberapa waktu dia tinggal di Gurun Chalcis, arah Barat Daya dari kota Antiokhia, yang dikenal sebagai Thebaid Syria. Disana ia berkenalan dengan seorang pertapa Yahudi Kristen yang kemudian mengajarinya bahasa Ibrani. Sejak itu Hieronimus menjadi tertarik pada kitab-kitab berbahasa Ibrani, yang menurut kaum Yahudi Kristen tersebut adalah sumber dari kitab Matius yang kanonik.
Di tahun 378 atau 379, dia ditahbiskan sebagai seorang imam oleh Uskup Paulinus di Antiokhia. Hieronimus sebenarnya tidak terlalu berkeinginan untuk menjadi imam. Yang terpenting baginya adalah bagaimana ia dapat membersihkan jiwanya dengan cara bertapa dan bermatiraga. Oleh karena itu ia meminta agar tetap diperbolehkan melanjutkan pola hidup asketisnya yang keras setelah ditahbiskan.
Segera setelah itu Hieronimus berangkat ke Konstantinopel untuk melanjutkan studinya dalam bidang Kitab Suci di bawah bimbingan Santo Gregorius Nazianzen. Ia tinggal di Konstantinopel selama beberapa tahun lalu pindah ke Roma. Keberadaannya kembali di Roma mula-mula karena diundang untuk menghadiri sinode tahun 382 yang digelar dengan tujuan mengakhiri skisma di Antiokhia; namun kecerdasannya memukau Paus Damasus I dan para tokoh Kristen di Roma. Sri Paus kemudian memintanya berkerja sebagai anggota dewan penasehat kepausan.
Salah satu yang paling penting di antara berbagai tugas yang diberikan paus kepadanya adalah melakukan revisi terhadap naskah Alkitab berbahasa Latin berbasis Perjanjian Baru Yunani dan Perjanjian Lama Ibrani, dengan maksud menyudahi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam naskah-naskah Gereja Barat pada masa itu. Sebelum adanya karya terjemahan Hieronimus, seluruh terjemahan Kitab Perjanjian Lama didasarkan atas Septuaginta. Meskipun ditentang oleh banyak warga Kristen, Hieronimus memilih untuk menggunakan Kitab Perjanjian Lama berbahasa Ibrani, bukannya Septuaginta. Penugasan untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Latin menentukan rentang kegiatan kesarjanaannya selama bertahun-tahun, dan merupakan pencapaian terpenting yang berhasil diraihnya. Alkitab yang diterjemahkannya itu dikemudian hari disebut Vulgata karena menggunakan bahasa sehari-hari yang dituturkan oleh masyarakat pada masa itu.
Di Roma Heironimus menjadi seorang Imam yang sangat berpengaruh; bukan saja karena tingkat keilmuannya yang luar biasa, melainkan juga karena komitmennya untuk tetap hidup sebagai seorang pertapa dengan pola hidup asketis yang sangat keras, dan juga karena usahanya yang sungguh – sungguh untuk tetap hidup suci.
Pada bulan Agustus 385, Hieronimus kembali ke Antiokhia bersama saudaranya Paulinianus para sahabatnya termasuk beberapa orang bangsawan Roma yang telah memutuskan untuk mengikutinya meninggalkan kehidupan duniawi dan menghabiskan masa hidup mereka di Tanah Suci. Pada musim dingin tahun 385 Hieronimus menyertai perjalanan dan bertindak selaku penasehat spiritual mereka. Bersama Uskup Paulinus dari Antiokhia yang menggabungkan diri kemudian, para pertapa ini berziarah mengunjungi Yerusalem, Betlehem, dan tempat-tempat suci di Galilea, lalu berangkat ke Mesir, yang kemudian menjadi “markas” sementara dari para pertapa Kristen ini.
Menjelang akhir musim panas tahun 388 Hieronimus dan para sahabatnya kembali ke Palestina dan menetap hingga akhir hayatnya di sebuah gua pertapaan di sebelah gua tempat Yesus dilahirkan di Betlehem. Hieronimus meninggal dunia di dekat kota Betlehem pada tanggal 30 September 420. Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Betlehem, dan konon kemudian dipindahkan ke gereja Santa Maria Maggiore di Roma.
“Good, better, best. Never let it rest. ‘Til your good is better and your better is best. Bagus, lebih baik, terbaik. Jangan pernah biarkan istirahat. Sampai yang baik dalam diri anda menjadi lebih baik dan yang lebih baik dari anda menjadi yang terbaik.”
Jadilah alat-Nya yang terbaik!