“Kemudian pergilah seorang dari kedua belas murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala. Ia berkata: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya,” (Mat 26: 14 – 15).
Mungkin kita sulit mengerti, mengapa Yudas Iskariot, salah satu dari lingkaran terdalam Yesus, dapat mengkhianati-Nya? Yudas tak diragukan lagi adalah orang berbakat, kemungkinan besar lebih terpelajar dari yang lain sehingga diberi tugas sebagai pemegang kas.
Kita mungkin merasa kasihan terhadap Yudas, yang menurut Yesus, “celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan,” (Mat 26: 24). Yudas yang kita temui di sini tidak diragukan lagi adalah hasil dari proses yang panjang dan rumit. Ketika Yesus memilih dia untuk menjadi murid, pastilah Yudas adalah calon potensial untuk kekudusan, seperti semua rasul lainnya. Karena, jika Yesus memilihnya, maka tidak diragukan lagi bahwa Yesus dapat melihat dalam diri Yudas benih-benih kemuliaan. Namun, pada titik tertentu, Yudas dengan bebas memilih, sedikit demi sedikit, untuk menolak jalan kepada kesucian dan lebih memilih cintanya pada uang — ini melalui serangkaian keputusan-keputusan kecil hari demi hari.
Dalam semua ini kita melihat bahwa Yesus selalu menghormati kebebasan Yudas. Bahkan ketika dia yakin bahwa Yudas akan mengkhianati-Nya, dia tidak pernah mengusir Yudas dari ke-Duabelas-an. Tuhan tidak menolak siapa pun, bahkan mereka yang mengkhianati cinta-Nya.
Tuhan juga tak pernah menolak dan membuang kita, meski kita acap kali mengkhianati-Nya. Maka, ketimbang menghabiskan waktu mencoba menilai kesalahan Yudas, atau menebak-nebak motivasinya, lebih baik kita merenungkan bagaimana kita sendiri juga membutuhkan pertobatan. Mari mendekat kepada-Nya.
Terbang kenari dari dahan ke dahan,
sambil bernyanyi indah suaranya.
Hidup ini adalah kemurahan Tuhan,
Mari jalani untuk kemuliaan-Nya.