Sabda Hidup
Minggu, 20 Februari 2022, Minggu Biasa VII Tahun C
Bacaan: 1Sam. 26:2,7-9,12-13,22-23; Mzm. 103:1-2,3-4,8,10,12-13; 1Kor. 15:45-49; Luk. 6:27-38
“Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.”
(Luk 6: 27 – 28)
Seorang pertapa tua sedang bermeditasi di bawah pohon di tepi sungai Gangga. Suatu pagi, ia melihat seekor kalajengking mengambang di air sungai. Ketika kalajengking itu hanyut mendekat, orang tua itu meraihnya untuk menyelamatkannya tetapi kalajengking itu menyengatnya. Tak lama kemudian, orang tua itu mencoba lagi dan disengat lagi oleh kalajengking itu. Sengatannya amat menyakitkan dan mebuat tangannya bengkak. Ada seorang lain yang lewat di situ dan melihat apa yang terjadi. Orang itu berseru: “Hei, bapak tua! Hanya orang bodoh membahayakan hidupnya untuk makhluk yang jelek dan jahat! Tidak tahukah kamu, kamu dapat membunuh dirimu sendiri dengan usahamu menyelamatkan kalajengking itu? Tidak tahukah kamu kalau dari kodratnya kaljengking itu menyengat?”
Orang tua itu menjawab: “Kawan, kalajengking memang dari kodratnya menyengat. Apakah aku harus mengubah kodratku untuk mengasihi dan menyelamatkan hanya karena seekor kalajengking tak mau mengubah kodratnya untuk menyengat?
Injil hari ini mengingatkan kita untuk tetap hidup dalam kodrat kita untuk mengasihi, meski orang-orang di sekitar kita tetap tinggal dalam kecenderungannya membenci.
Bacaan pertama hari ini bercerita tentang Saul yang mengasihi Daud sepeti puteranya sendiri, tetapi Saul mulai cemburu dan iri hati terhadap popularitas Daud yang semakin menanjak. Saul berusaha dengan pelbagai cara untuk membunuh Daud yang ia anggap sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Orang akan menganggap wajar jika Daud, bila ada kesempatan akan membunuh Saul. Tetapi ketika kesempatan itu tiba, ketika Saul tertidur dan Daud mempunyai kesempatan untuk membunuhnya, Daud tidak “mengambil kesempatan” itu. Ia menghormati Saul sebagai seorang yang diurapi Allah.
Dalam bacaan Injil, Lukas, dalam tulisannya, sering menggunakan metode yang disebut oleh para ahli Kitab Suci “Great Reversal” [Pembalikan Agung]. Lukas menempatkan hal-hal yang telah diajarkan tentang Allah atau hal-hal yang diharapkan dalam hidup, lalu, ia menampilkan Yesus membalikkan secara keseluruhan gagasan tersebut. Salah satu gagasan yang umum dalam hidup antara lain adalah pembalasan yang setimpal – atau skornya “draw”. Membalas dendam mungkin tidak dapat diterima, tetapi “membalas secara seimbang” bukan hanya dapat diterima, malahan diperlukan demi menjaga kehormatan. Tetapi bagi Yesus, memberi jauh lebih penting daripada mempunyai. Kita harus murah hati secara melimpah ruah. Kebaikan kita harus melampaui yang biasa. Bahkan kita harus mengharapkan yang terbaik bagi musuh-musuh kita.
Ajaran Kristiani selalu memakai pendekatan positif. Pendekatan krristiani bukanlah “tidak melakukan” tetapi “melakukan”. Yesus memberikan kepada kita aturan emas yang meminta kita melakukan kepada orang lain seperti yang seharusnya mereka lakukan kepada kita. Dalam sejaranh, banyak penulis kuno dan orang-orang bijak seperti Hillel, Philo, Konfucius, dll, yang mengajarkannya secara negatif, “Jangan lakukan pada orang lain, apa yang kamu sendiri tidak ingin orang lain lakukan kepadamu.” Bagi Kristus, tindakan moral yang baik selalu dalam tindakan aktif dan bukan sekadar menghindari sesuatu yang negatif atau secara pasif “tidak melakukan”.
Dibutuhkan orang-orang saleh seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr. untuk menyadarkan kita kembali akan pentingnya gerakan tanpa kekerasan (non violence) sebagai norma kita, orang-orang Kristen, dalam menanggapi penganiayaan, penindasan, pelecehan dan ketidakadilan. Namun, Yesus tetaplah yang terbesar dalam gerakan anti-kekerasan, sebab, bahkan ketika Ia dieksekusi secara publik yang memalukan di kayu salib, dia masih bisa berkata, “Bapa, maafkan mereka; karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan” (Lukas 23:34).
Secara kodrati kita cenderung hanya mencintai teman dan orang terkasih. Kita sering tidak terlalu peduli dengan musuh kita. Mengasihi musuh bukan hanya sesuatu yang tidak kita lakukan, tetapi sesuatu yang hampir tidak bisa kita lakukan. Sesuatu di luar kekuatan manusia kita. Mengasihi mereka yang membenci kita membutuhkan “kekuatan” dari Yang Ilahi. Kita membutuhkan kasih karunia. Hanya Roh Allah yang dapat memberi kita hikmat untuk memahami mengapa kita harus mengasihi musuh kita. Kita membutuhkan rahmat untuk melihat di kayu salib, makna “mati untuk manusia yang berdosa”, sebagai tindakan kasih Allah yang tak bersyarat bagi kita.
Kita harus membandingkan diri kita bukan dengan sesama, melainkan dengan Allah. Kristus mengjar kita untuk mengasihi musuh karena dengan itu kita menjadi semakin serupa dengan Allah. Ini adalah cara-Nya bertindak. Allah memberikan hujan dan panas matahari baik kepada orang yang benar maupun orang yang tidak benar; dia merangkul baik orang berdosa maupun orang yang suci. Kasih seperti itulah yang harus kita teladani. Jika kita mengusahakan yang terbaik untuk musuh kita, maka kita menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi. “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”
Lalu soal musuh. Apakah kita sebagai murid-murid Kristus mempunyai musuh? Kita melihat bahwa “musuh” di sini berarti mereka yang membenci para murid, bukan mereka yang dibenci para murid. Murid Kritus tidak boleh membenci siapa pun. Jika musuh yang kita maksud adalah mereka yang kita benci, maka itu bukan sikap murid Kristus. Tetapi jika musuh yang kita maksud adalah mereka yang membenci kita, maka kita tidak bisa tidak memiliki “musuh”. Kita tidak dapat mengontrol bagaimana orang lain memperlakukan kita; kita hanya bisa mengontrol bagaimana kita memperlakukan mereka. Kita tidak bisa memaksa siapa pun untuk menyukai kita, tetapi kita selalu bisa meyakinkan diri sendiri – untuk mencintai, meskipun kita tidak dicintai.
Sahabat-sahabat, Injil hari ini mengingatkan, jika kita menghidupi prinsip “mata ganti mata” maka dunia akan dipenuhi dengan orang buta. Dan jika dalam hidup kita ada “kalajengking kebencian” yang hobby-nya menyengat, mari, kita tetap setia dalam komitmen kita untuk mengasihi.
Sang Sabda yang tercinta,
(St. Ignatius Loyola)
ajarlah aku berhati luhur
sebagaimana pantas bagiku.
Ajarlah aku memberi tanpa pamrih,
berjuang tanpa mengeluh kesakitan,
dan bekerja tanpa mengharap upah.
Ajarlah aku menyerahkan diri sepenuhnya
kepada kehendak Allah,
sebab satu-satunya yang kuharapkan ialah
hasrat yang tulus
untuk selalu melaksanakan kehendak–Nya
di dalam segala-galanya.
Amin.