Suatu hari Minggu, sepulang dari gereja, seorang suami tiba-tiba memanggul istrinya mengelilingi ruang tamu. Istrinya terkejut dan bertanya: “Apa-apan nih? Apakah tadi pastor mengatakan agar kamu lebih romantis?” “Nggak,” jawab suaminya, “Tadi dia mengatakan agar aku memikul salib!” Hehehe…
*****
Injil hari ini berbicara tentang penderitaan dan memikul salib. Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga, (Mat 16: 21). Dan kemudian Ia berkata: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku,” (Mat 16: 24).
*****
Sakit dan penderitaan adalah bagian dari hidup. Daftar penyebab penderitaan itu seakan tak berujung: kekerasan, bencana, perang, pelbagai macam penyakit seperti diabetes, arthiritis, kanker, dan masih banyak lagi.
Dan ada lagi penderitaan mental, emosional, psikologis, seperti kesendirian, kesepian, berjuang sebagai single parent, beban untuk mendampingi dan merawat anggota keluarga yang sakit, suasana kerja monoton dan tidak ramah.
*****
Petrus yang sebelumnya mengakui: “Engkau adalah Messias, Anak Allah yang hidup,” rupanya tidak dapat menerima bahwa Yesus harus menderita. “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” (Mat 16: 22). Pasti para murid terkejut ketika mereka mendengar Yesus menghardik Petrus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku.” Bayangkan, Yesus menghardik Petrus dengan sebutan “Iblis”. Yesus menegaskan masalah Petrus: “Engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
Yang dipikirkan manusia, standard manusia, adalah: “Nikmati hidup, cari aman, buat apa susah?” Tetapi nampaknya standard itu tidak realistis, sebab, entah bagaimanapun bentuknya, setiap orang menderita. Entah kaya atau miskin, orang saleh ataupun atheis. Dan tentu saja, Yesus sendiri menderita.
*****
Jadi pertanyaannya bukan apakah saya akan menderita, tetapi bagaimana saya akan menderita. Bagaimana saya akan menghadapi penderitaan. Sepanjang sejarah, orang telah mencari jalan untuk mengatasi penderitaan. Stoisisme Yunani misalnya menegaskan sikap untuk menahan penderitaan. Mereka bilang: “Tahan saja. Gak usah complain!”
Ajaran kristiani mengatakan bahwa penderitaan itu tak terelakkan dan hal terbaik untuk dilakukan adalah menyerahkannya kepada Tuhan. Mungkin nasehat itu sudah usang, tetapi tetap merupakan nasehat yang baik. Ajaran untuk “memikul salib” tentu saja bukanlah masokisme atau fatalisme. Itu bukan berarti bahwa kita mencari-cari penderitaan di satu pihak atau menerimanya sebagai nasib dan tidak melakukan apapun, di lain pihak.
Jika anda dapat mencegah penderitaan atau menyembuhkannya, lakukanlah. Jika tidak, maka semangat dari doa Reinhold Niebuhr ini perlu dimiliki: “Tuhan, berilah aku keberanian untuk mengubah apa yang dapat kuubah; ketenangan untuk menerima hal-hal yang tak dapat kuubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.”
*****
Apakah saya berkecil hati, ketika saya mengalami penderitaan dalam hidup hingga kehilangan iman kepada Tuhan? Jika penderitaan itu tak terelakkan, apakah saya dapat menyatukannya dengan penderitaan Kristus?
Apakah penderitaan anda itu disebabkan oleh kebiasaan buruk seperti merokok, minum minuman keras, berjudi atau karena kurang berusaha untuk memperbaiki situasi? Tuhan membantu orang yang menolong dirinya sendiri. Ingat itu!