Sabda Hidup
Minggu, 4 September 2022, Minggu Biasa XXIII
Bacaan: Keb. 9:13-18; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Flm. 9b-10,12-17; Luk. 14:25-33.
“Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
(Luk 14: 26)
Kita tahu perintah, “Hormatilah ayah dan ibumu” (Kel 20: 12). Kita semua juga pasti tahu perintah baru Yesus, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu,” (Yoh 13:34). Tetapi hari ini kita mendengar Ia berkata, “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku,” (Luk 14: 26). Bagaimana kita mendamaikan perintah-perintah yang nampaknya saling bertentangan itu? Bagaimana mungkin kita “membenci” mereka yang seharusnya kita kasihi? Mengapa?
Pada hari Sabtu, 8 September 2001, pada final tennis US Open di Flushing, New York, untuk pertama kalinya dalam sejarah pertandingan dunia tennis itu, dunia menyaksikan suatu emosi yang luar biasa ketika dua besaudara yang sangat mengasihi satu sama lain, yang hidup di rumah yang sama dan selama pertandingan menginap di kamar hotel yang sama, saling bertarung untuk menjadi sang juara. Dapatkah anda membayangkan apa yang terjadi di benak Venus dan Serena Williams ketika mereka bertarung, berusaha saling mengalahkan. Barangkali dapat dikatakan bahwa pada saat itu mereka saling “membenci” untuk sementara waktu. Mereka harus saling “membenci” sebab hanya salah satu di antara mereka yang akan berdiri sebagai sang juara dunia. Yang satu menjadi “halangan” bagi yang lain untuk mengejar impian menjadi juara dunia. Dan karena itu mereka harus salong “membenci” dan “melawan”.
Waktu itu Venus yang memenangkan pertandingan. Tetapi ia tidak melakukan selebrasi kemenangan seperti biasanya. Malahan ia lari ke dekat net, memeluk adiknnya yang dikalahkannya dan berkata, “I love you.” Mengapa ia berkata demikian? Karena pertandingan telah usai dan adiknya bukan lagi halangan bagi langkahnya menjadi juara. Mungkin ia berkata, “Maaf, aku harus melakukannya. Aku harus melawanmu sekuat tenaga. Aku harus “membenci” kamu karena kamu berdiri di jalanku. Tetapi aku tetap mengasihi kamu.” Mungkin itu dapat menjadi contoh bagi kita bagaimana “membenci” mereka yang kita kasihi, dan darinya kita dapat belajar tentang perintah untuk “membenci” mereka yang kita kasihi.
Pasti Venus mengasihi Serena. Tetapi yang satu menjadi halangan bagi yang lain untuk mengejar gelar juara. Demikian juga kita mengasihi orang tua dan saudara-saudari dan juga pasangan, sahabat, teman dan orang-orang lain yang kita kasihi, kecuali ketika mereka menjadi halngan bagi kita untuk memenangkan mahkota kehidupan kekal. Mahkota kemuliaan surgawi yang diberikan oleh Bapa jauh lebih berharga dari mahkota kemenangan kejuaraan apapun. Maka kita harus siap untuk bertarung tanpa kompromi melawan siapa dan apa saja yang menghalangi jalan kita meraih mahkota itu. Harta milik misalnya, dapat menjadi halangan yang besar untuk meraih mahkota keselamatan. Itulah sebabnya Yesus menutup Injil kita hari ini dengan mengatakan, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku,” (Luk 14: 33).
Yesus menyiratkan bahwa menjadi murid-Nya berarti merelatifkan setiap hal lain dalam hidup: keluarga atau kekayaan, kemakmuran atau kesehatan, kesenangan atau ketenaran. Maksudnya, bahwa dalam daftar tujuan dan prioritas hidup kita, mencapai Kerajaan Allah harus didahulukan dan baru kemudian yang lainnya. Ini adalah masalah hidup dan mati. Dan Ia memberikan perumpamaan dari medan perang untuk menggambarkan keseriusan ajaran-Nya. Mengikuti Kristus bukan main-main, itu adalah hal yang serius. Sebab kemuridan berarti komit terhadap Yesus sepenuh hidup kita.
Perumpamaan yang pertama adalah orang yang ingin mendirikan sebuah menara. Menara pada waktu itu adalah bangunan strategis untuk pertahanan kota pada masa perang. Ia harus membuat persiapan dan perhitungan yang serius untuk mendirikannya. Perumpamaan yang kedua adalah raja yang hendak maju berperang. Perhatikan bahwa raja itu hanya mempunyai 10.000 orang sedangkan lawannya mempunyai 20.000 orang. Jika kita mengidentifikasikan diri dengan raja itu, jumlah musuh dua kali lebih besar. “Perjuangan kita bukan melawan daging dan darah, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, kekuatan-kekuatan dunia kegelapan ini, dan melawan kekuatan roh dari si jahat yang ada di langit,” kata St. Paulus (Ef 6: 12). Kita akan gagal apabila kita tidak meminta bantuan raja yang lain untuk bersekutu dengan kita. Dan raja itu adalah Raja segala raja, Raja alam semesta. Yesus sendiri.
Injil hari ini menunjukkan kepada kita, betapa mutlak dan radikal tuntutan kemuridan. Mengikuti Yesus lebih sulit dibanding memenangkan kejuaraan apapun. Kabar baiknya adalah bahwa Yesus tahu kelemahan manusiawi kita. Meski kekuatan kita hanya 10.000 bala tentara dan musuh mempunyai kekuatan berapapun kali lipat, kita mampu menang jika kita mengandalkan-Nya. Ingat, tanpa Dia, kita tidak dapat melakukan apa-apa. Tetapi bersama-Nya, kita menang!