Pada suatu malam hari di musim salju yang dingin, seorang pertapa pengembara mencari tempat berteduh di sebuah kuil. Orang lelaki yang malang itu berdiri menggigil di tempat di mana serpihan-serpihan salju berjatuhan terus menerus. Maka imam penjaga kuil itu pun kontan berpikir bahwa orang ini mesti dipersilahkan masuk, katanya: “Baiklah, anda dapat tinggal di tempat ini, tetapi hanya selama satu malam. Tempat ini adalah kuil, bukan penginapan. Besok pagi anda harus sudah pergi dari sini.”
Pada malam hari yang pekat dan dingin itu, imam tadi mendengar suara aneh yang gemeretak. Ia bergegas menuju kuil dan melihat pemandangan yang tak masuk akal. Orang asing tadi menghangatkan dirinya dengan perapian yang dibuatnya di dalam kuil. Sebuah patung Budha yang terbuat dari kayu hilang. Imam itu pun bertanya, “Di mana patung itu?”
Orang asing itupun menunjuk ke arah perapian, dan berkata: “Saya pikir, cuaca dingin malam ini bisa membuat saya mati.”
Imam itu pun naik pitam dan berteriak: “Apakah anda tidak punya otak? Apakah anda tahu apa yang telah anda buat? Itu ‘kan patung sang Budha! Anda telah membakar sang Budha!”
Api pun sedikit demi sedikit mengecil. Pertapa itu menatap perapian dan mulai mencongkel-congkelnya dengan tongkatnya.
“Apa lagi yang ada buat sekarang?!” teriak imam itu.
“Saya sedang mencari tulang-tulang sang Budha yang anda katakana telah saya bakar.”
Kemudian imam itu melaporkan kejadian itu kepada seorang guru Zen. Guru Zen itu mengatakan: “Kamu semestinya pantas disebut imam yang jelek, sebab kamu lebih menghargai sebuah patung Budha yang mati daripada seorang manusia yang hidup.”
Hidup beragama tanpa belas kasih akan kehilangan jiwanya.
“Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” (Luk 6: 5).
Bacaan Misa hari ini: Kol. 1:21-23; Mzm. 54:3-4,6,8; Luk. 6:1-5