Sabda Hidup
Selasa , 15 September 2020, Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita
“Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.”
(Yoh 19: 25 – 27)
Kemarin kita rayakan Pesta Salib Suci. Hari ini kita rayakan Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita. Apa hubungan dari keduanya? Tentu saja, keduanya menempuh penderitaan dan memikul salib atas cara yang berbeda, tetapi keduanya terkait erat. Gereja memberi gelar Co-redemptrix kepada Maria karena hubungannya yang sangat erat dengan sengsara Kristus. Bukan soal bahwa mereka bersama-sama menderita, tetapi mereka menderita dengan cinta yang sama, cinta bagi umat manusia dan Allah Bapa.
Peringatan Santa Perawan Maria Berdukacita sudah dimulai sejak abad ke-12. Secara istimewa, peringatan ini dikembangkan oleh para rahib Cistercian dan OSM (Ordo Servorum Beatae Mariae Virginis – Ordo Hamba-hamba Santa Perawan Maria), sehingga pada abad ke-14 dan ke-15 sudah dirayakan hampir di seluruh Gereja Katolik. Pada tahun 1482 Pesta ini dimasukkan dalam Misale dengan judul “Bunda Belas Kasih”. Paus Benediktus XIII menambahkannya pada Kalender Romawi pada tahun 1727, ditempatkan pada hari Jumat sebelum Minggu Palma. Pada tahun 1913, Paus Pius X menetapkan perayaan ini pada tanggal 15 September.
Gelar “Santa Perawan Maria Berdukacita” berfokus pada penderitaan hebat Maria pada sengsara dan wafat Kristus. Sedangkan “Tujuh Dukacita”, gelar yang dirayakan pada abad ke-17, lebih menunjuk pada 7 pedang yang menembus Hati Maria. Pesta tersebut menjadi oktaf (dirayakan selama 8 hari berturut-turut) Pesta Kelahiran Maria pada tanggal 8 September.
Perayaan ini dipersembahkan bagi kemartiran rohani Maria, Bunda Allah, dan bela-rasanya dengan penderitaan Puteranya, Yesus. Dalam penderitaannya sebagai co-redemptrix, ia mengingatkan kita pada kejahatan dan dosa yang begitu besar dan menunjukkan jalan pertobatan sejati.
Ketika Maria berdiri di kaki salib tempat Yesus bergantung, pedang kedukaan yang telah diramalkan Simeon menembus jiwanya.
Kita mengenal 7 kedukaan Maria:
1. Nubuat Simeon (Luk 2:25-35)
2. Pengungsian ke Mesir (Mat 2:13-15)
3. Hilangnya Yesus di Bait Allah (Luk 2:41-50)
4. Maria menjumpai Yesus saat menjalani hukuman mati (Luk 23:27-31; Yoh 19:17)
5. Penyaliban dan wafat Yesus (Yoh 19:25-30)
6. Jenasah Yesus diturunkan dari salib (Mzm 130; Luk 23:50-54; Yoh 19:31-37)
7. Yesus dimakamkan (Yes 53:8; Luk 23:50-56; Yoh 19:38-42; Mrk 15:40-47)
Bacaan Misa hari ini, berbicara tentang ketaatan. “Sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,” (Ibr 5: 8). Tiga kata mendapat penekanan di sini: belajar, taat dan derita. Yesus telah belajar menjadi taat dari apa yang diderita-Nya. Ini adalah kebalikan dari bapa kita Adam, yang tidak mau belajar apa yang diperintahkan oleh Allah, yang tidak mau menderita, tidak mau taat. Sedangkan Yesus, meskipun Ia adalah Anak Allah, Ia menggosongkan diri, merendahkan diri dan menjadi seorang hamba, bahkan sampai mati di salib.
Di bawah kaki salib, kita menjumpai Maria, bundanya yang setia belajar menjadi taat dan menderita. “Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya,” (Yoh 19 : 25). Mari, kita meneladan St. Yohanes dengan “menerima dia di dalam rumah kita” dan belajar untuk setia, taat, memikul salib bersama Kristus.
Bacaan Misa hari ini: Ibr. 5: 7-9; Mzm 31:2-3a,3b-4,5-6,15-16, 20; Yoh. 19:25-27 atau Luk. 2:33-35.