Sabda Hidup
Selasa, 14 Juni 2022, Selasa Pekan Biasa XI
Bacaan: 1Raj. 21:17-29; Mzm. 51:3-4,5-6a,11,16; Mat. 5:43-48.
“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga.”
(Mat 5: 43 – 45a)
Perikope Injil untuk hari ini, adalah inti dan bagian yang paling terkenal dari Kotbah di Bukit. Perikope ini memberikan kepada kita Etika Kristiani dalam hubungan pribadi kita: mengasihi musuh seperti kita mengasihi sesama dan bagaimana kita menyatakan kasih kita kepada “musuh” kita dengan mengampuni mereka dan berdoa bagi mereka. Dengan itulah kita “tampil beda” karena rahmat yang diberikan kepada kita yang dengannya kita berinteraksi dengan orang lain, memperlakukan mereka dengan kemurahan hati dan belas kasih, terutama ketika orang lain (“musuh” kita itu) sebenarnya tidak pantas untuk menerimanya.
Sesungguhnya, Hukum Perjanjian Lama juga tidak pernah mengatakan untuk membenci musuh, tetapi seperti itulah orang-orang Yahudi memahaminya. Yesus memerintahkan agar kita mengasihi “musuh-musuh” kita dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita, karena dengan demikianlah kita menjadi anak-anak Bapa di Surga. Ketika bergantung di kayu salib, Yesus melakukan apa yang dikatakan-Nya, itulah yang Ia perintahkan kepada kita. Ia pun berdoa memohonkan Belas Kasih dan Kerahiman Allah Bapa bagi mereka yang menyalibkan-Nya – termasuk seluruh umat manusia, dan juga kita – dengan berkata, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” (Luk 23: 34). Saya sendiri menulis kata “musuh” dalam tanda kutip (“ “). Sebab seharusnya murid-murid Kristus tidak ada musuh. Akan tetapi sebagai konsekuensi kita menghidupi Injil, mungkin ada orang-orang yang tidak setuju, membenci, memusuhi, mencemooh, menganiaya, atau bahkan melukai kita. Mereka itu juga kita kasihi dan doakan. Jika kita hanya mengasihi sahabat-sahabat dan teman-teman kita, apa bedanya dengan orang lain? Orang yang tak percaya Tuhan pun berlaku demikian.
Kita perlu mengasiihi sesama dan “musuh” kita juga. Kata Yunani yang dipakai untuk mengatakan “mengasihi musuh” bukanlah “storge” (afeksi atau kasih terhadap anggota keluarga), bukan juga “philia” (kasih persahabatan dengan teman-teman dekat), bukan juga “eros” (kasih romantis), tetapi “agápe”, kasih tanpa syarat, kasih yang berkurban, kasih yang menginginkan yang terbaik. Karena agápe itu tidak gampang, maka kita membutuhkan bantuan Allah untuk melaksanakannya. Kasih agápe adalah pilihan, bukan perasaan. Kita memilih untuk mengasihi musuh karena Yesus juga mengasihi mereka, bahkan juga wafat untuk mereka, sebab mereka pun anak-anak Allah. Dalam Kisah Para Rasul, dapat kita jumpai Stefanus, martir pertama, yang seperti Yesus, mendoakan mereka yang membunuhnya.
Sahabat-sahabat, kita berusaha untuk menjadi sempurna seperti Bapa adalah sempurna. Kita menjadi sempurna ketika kita memenuhi tujuan Allah menciptakan kita: dengan bantuan rahmat-Nya menjadi serupa dengan Dia. Kita juga menjadi sempurna ketika dengan bantuan rahmat-Nya, kita berusaha mengasihi seperti Bapa mengasihi, mengampuni seperti Bapa mengampuni dan selalu menghendaki yang baik seperti Bapa. Kesempurnaan berarti kita berusaha menghidupi setiap saat setiap detik untuk melaksanakan kehendak-Nya, atas bantuan atau bekerjasama dengan rahmat Allah.
***
Dalam kotbahnya di Gereja, Pastor bertanya, “Siapa di antara kamu yang telah mengampuni musuh-musuhmu?” Umat yang mengangkat tangan hanya lima puluh persen. Pastor belum puas. Ia sangat berharap umat Kristen harus mengampuni musuh-musuh, bahkan mengasihi musuh-musuh, seperti yang diajarkan oleh Tuhan. Maka ia bertanya untuk kedua kalinya, “Siapa di antara kamu yang telah mengampuni musuh-musuhmu?” Kali ini yang angkat tangan sekitar tujuh puluh lima persen.
Pastor berlum merasa puas. Ia mau seratus persen umatnya mengampuni musuh. Dengan suara yang sangat kuat ia bertanya untuk ketiga kalinya, “Siapa di antara kamu yang telah mengampuni musuh-musuhmu?” Semua umat angkat tangan, kecuali seorang ibu tua. Ia tidak angkat tangan. Pastor pun bertanya kepadanya, “Ibu, siapa namamu?” Ibu tua itu menjawab, “Yakomina.” “Berapa usiamu?” tanya pastor lagi. “Sembilan puluh lima pastor!” jawab ibu tua itu. Kembali Pastor bertanya, “Kenapa ibu tidak angkat tangan waktu saya bertanya siapa di antara kamu yang sudah mengampuni musuh-musuhmu?” Dengan polos Ibu Yakomina menjawab, “Saya tidak mempunyai musuh Pastor!” Pastor senang sekali mendengar jawaban ibu itu. Ia pun menyuruh ibu Yakomina datang ke depan mimbar. Dengan langkah tertatih ibu Yakomina datang ke depan mimbar. Setelah sampai di depan mimbar, Pastor berkata kepada ibu Yakomina, “Ibu, katakanlah kepada semua umat yang ada di gereja ini, bagaimana seorang ibu berusia sembilan puluh lima tahun tidak mempunyai musuh-musuh. Ibu Yakomina mengatakan, “SAYA TIDAK MEMPUNYAI MUSUH-MUSUH KARENA MEREKA SEMUA TELAH MENINGGAL DUNIA!”
“To return evil for good is devilish. To return good for good is human. To return good for evil is godlike.”