Sabda Hidup
Selasa, 9 Februari 2021, Selasa Pekan Biasa 5
Apa yang terjadi jika di suatu paroki, pastornya mengatakan, “Mulai sekarang, kita berdiri saat Doa Syukur Agung,” padahal biasanya selalu berlutut. Pasti akan ribut.
Berdiri juga merupakan sikap hormat resmi. Itu sebabnya kita berdiri selama pembacaan Injil. Secara teologis, ini menandakan bahwa kita adalah orang-orang Paskah; Tuhan telah mengalahkan dosa dan maut, dan sekarang kita hidup dalam kemuliaanNya yang telah bangkit. Sedangkan sikap berlutut juga merupakan sikap hormat, mengingatkan kita untuk rendah hati. Yesus layak mendapatkan penghormatan paling besar yang bisa kita berikan. Kemudian, duduk adalah sikap mendengarkan.
Jadi, mau berdiri atau berlutut akan kehilangan makna, ketika seseorang berdiri karena yang lain berdiri, atau berlutut karena yang lain juga berlutut, duduk ketika yang lain juga duduk…. Berlutut, berdiri, duduk, berdiri, duduk, berlutut, berdiri, duduk, berdiri….. Wah! Repot!
“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku!” (Mrk 7: 6).
Dengan mengutip seruan Nabi Yesaya itu Yesus mengkritisi penghayatan iman dan praktik keagamaan orang-orang Yahudi pada zamannya, yang lebih menekankan asepk fisik – lahiriah saja, tanpa melihat melihat aspek spiritualnya yang harus keluar dari kedalaman batin dan kejujuran hati. Semoga apa yang dikatakan Yesus itu tidak terjadi pada diri kita. Maka patut kita bertanya: Apa yang mendorong saya untuk melakukan – atau tidak melakukan – suatu tradisi atau ritual? Apakah itu akan meningkatkan kerendahan hati saya? Apakah ritual itu akan semakin mendekatkan saya dengan Tuhan dan dengan sesama? Apakah tindakan kita muncul dari hati? Atau sebenarnya hati saya jauh dari Tuhan? Apakah sikap batin saya tulus dan jujur dalam memuliakan Tuhan dan melayani sesama? Jangan kita lain di bibir, lain di hati!
Bacaan hari ini: Kej. 1:20-2:4a; Mzm. 8:4-5,6-7,8-9; Mrk. 7:1-13.