Sabda Hidup
Senin, 4 Oktober 2021, Peringatan St. Fransiskus Asisi
Bacaan: Yun. 1:1-17;2:10; MT Yun. 2:2,3,4,5,8; Luk. 10:25-37;
Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
(Luk 10: 30)
Barangkali perumpamaan tentang “Orang Samaria yang Murah Hati” adalah perumpamaan yang paling populer di antara perumpamaan-perumpamaan yang diceritakan oleh Yesus. Begitu populernya sehingga ketika kita katakan “orang Samaria” kita langsung berpikir tentang “murah hati” atau “baik hati”. Saya yakin anda pernah mendengar atau membaca banyak refleksi tentang meneladan “Orang Samaria yang Murah hati” dan tidak meniru si imam atau orang Lewi dalam perumpamaan tersebut.
Kali ini, mari kita pusatkan perhatian, bukan pada imam yang tak peduli, bukan pula pada orang Lewi yang acuh tak acuh, bukan pula pada orang Samaria yang murah hati itu. Tetapi, mari kita fokus pada orang yang jatuh ke tangan penyamun dan dirampok habis-habisan itu.
Kita dapat dengan mudah mengidentifikasikan diri dengan korban yang dirampok, dipukul dan ditinggalkan setengah mati di jalan itu. Bukankah dalam perjalanan hidup kita sering juga dirampok, dipukul dan ditinggalkan setengah mati?
Bisa jadi, kita tidak dirampok secara material. Tetapi banyak dari kita yang pernah dirampok harga dirinya, integritasnya dan nama baiknya. Banyak dari kita pernah dirampok karena kita dikhianati. Kepercayaan kita tidak dibalas dengan kepercayaan. Cinta kita tidak dibalas dengan cinta tanpa pamrih. Rasa aman kita ditelanjangi dan dengan kata lain kita ditinggalkan setengah mati di jalan kehidupan kita.
Kita berpikir karena kita sudah ditinggalkan setengah mati, orang akan berbelaskasihan kepada kita, khususnya teman, sahabat atau orang-orang dekat kita, yang kita pikir akan selalu ada di sana. Tetapi sering kali kita kecewa, karena kita ditinggalkan begitu saja.
Sebagai contoh, dalam perumpamaan tersebut, kita berharap agar si imam akan bersikap lebih baik ketimbang meninggalkan orang itu setengah mati di jalan. Tetapi ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Bukankah tidak jarang ada saat-saat kita ditinggalkan setengah mati di jalan hidup oleh teman-teman yang kita pikir dapat kita andalkan ketika kita membutuhkannya? Kita mendekatinya, meminta bantuan dan mereka bilang: “Emang gue pikirin….?”
Ada orang-orang yang pernah bilang bahwa ia akan menjadi teman kita selamanya tetapi ketika masalah datang, ketika kita dihantam badai kehidupan, ketika kita setengah telanjang, setengah mati dan megap-megap berjuang untuk hidup mereka bilang: “Sorry, aku lagi sibuk banget….”
Di lain pihak, ada saat-saat ketika kita ditinggalkan setengah mati pada jalan kehidupan, ada orang yang kita pikir tidak mungkin akan menolong, justru ialah yang peduli. Tak jarang, orang itu sungguh-sungguh seorang asing yang tak kita duga. Orang itu, “orang Samaria” dalam hidup kita itu, peduli, mengatakan hal-hal yang baik pada saat yang te[at, memberi kita apa yang paling kita butuhkan, dan tetiba, kita bangkit lagi karena mereka.
Mari kita pandang diri kita sebagai korban perampokan itu. Dan sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, siapa sesama dari si korban itu? Jawabannya tentu saja orang Samaria itu, karena ia telah menyelamatkan nyawa korban itu.
Jika situasinya dibalik, dan anda melihat orang Samaria yang murah hati itu terbaring di jalan setengah mati, apakah anda akan menolong dia karena hutang budi? Orang bukan Kristen pun akan melakukan hal itu.
Adalah hal normal jika kita menjadi sesama bagi mereka yang telah menjadi sesama kita. Mudah dimengerti jika kita baik terhadap mereka yang baik terhadap kita.
Apabila si korban itu selamat, dan kemudia suatu hari melintasi jalan yang sama dan melihat si imam terbaring setengah mati. Apa yang harus ia perbuat terhadap imam itu? Ia akan dengan mudah berkata, “Ketika aku membutuhkanmu, kamu tidak menolong aku sama sekali.”
Tetapi jika ia adalah seorang Kristiani sejati, ia akan berkata: “Bapa, meskipun waktu itu anda tidak menolong saya, meskipun anda tidak melakukan apa yang saya harapkan ketika saya membutuhkan anda, saya ada di sini untuk menolong anda.”
Misalnya saja, si korban tetap hidup dan menjadi seorang yang sukses. Lalu suatu hari ia melihat dan mengenali orang yang merampoknya, memukulnya dan meninggalkannya setengah mati itu terbaring luka parah di jalan. Akankah ia tidak peduli sama sekali dan berkata, “Buat apa aku peduli, kau telah menyengsarakan hidupku.”?
Korban yang baik, akan berkata, “Lihat, aku mengampuni engkau dan telah melupakan apa yang telah kau perbuat terhadap aku. Sekarang engkau terbaring setengah mati. Tugasku adalah menolong dan memulihkan hidupmu.”
Sahabat-sahabat, kita semua pernah mengalami menjadi korban. Kita pernah terluka. Kita pernah ditinggalkan setengah mati di jalan hidup. Kita semua pernah mempunyai teman-teman yang tak peduli ketika kita amat membutuhkan mereka. Tetapi kita juga pernah bertemu dengan orang asing yang datang menyelamatkan kita, melakukan tindakan yang tepat pada saat yang tepat, memulihkan kehidupan kita.
Apakah kita dalah korban-korban yang baik? Seorang korban yang baik berkata: “Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”