Sabda Hidup
Jumat, 31 Juli 2020, Peringatan St. Ignasius Loyola
“Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” (Mat 13: 57).
Setiap orang Kristen yang baik mewartakan yang baik, benar dan adil. Ia juga mendorong sesamanya untuk berbuat yang baik, benar dan adil. Dengan itu ia menjadi seorang “nabi”. Nabi yang sejati mewartakan firman Tuhan. Ia menjadi juru bicara Tuhan. Kata-kata seorang nabi bisa enak didengar, tapi lebih sering mengusik hati nurani yang mendengarnya. Yeremia adalah seorang nabi. Karena apa yang diwartakannya mengusik orang-orang sejamannya, “seluruh rakyat itu menangkap dia serta berkata: “Engkau harus mati!” (Yer 26: 8). Yesus Kristus tentu saja adalah seorang nabi. Orang yang mendengarnya penuh dengan rasa takjub. Tapi makna dan implikasi pesan mereka sarat dengan tanggung jawab. Kata-kata Yesus mereka rasakan terlalu berat untuk mereka. Karenanya, Yesus ditolak.
Orang Kristen yang baik, yang menjadi pengingat akan perilaku yang baik, benar dan adil sering kali dicap sok suci, cari muka, dan macam-macam atribut lainnya. Namun, ingatkah kita bahwa seharusnya semua orang Kristiani menjadi nabi Allah seperti Yesus? Apapun situasi, waktu atau tempatnya, firman Tuhan harus diwartakan. Dan untuk itu bisa saja kita menghadapi penolakan, bahkan penganiayaan. Sulit? Nah, Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup tanpa salib.
Bukankah kita memang mengikuti Yesus yang tersalib? Komitmen mengikuti Yesus yang tersalib dan komitmen untuk bermisi bersama dengan Kristus menjadi semangat St. Ignasius Loyola yang kita peringati hari ini.
Santo Ignatius dari Loyola, pendiri Serikat Yesus, lahir pada tahun 1491 di Basque, Spanyol Utara dari keluarga bangsawan di daerah itu.
Dia adalah anak bungsu dari 13 bersaudara dan dipanggil Iñigo. Ketika masih kanak-kanak, ia dikirim untuk menjadi abdi di istana raja. Di sana ia tinggal sambil berangan-angan bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi seorang kesatria yang hebat. Ignasius kemudian masuk militer dan menjadi seorang perwira. Dalam pertempuran di Pamplona ia terluka oleh peluru meriam, yang mematahkan satu kaki dan melukai yang lain, ia ditangkap oleh Prancis, tetapi akhirnya diperbolehkan pulang ke Loyola.
Dia menghabiskan waktunya untuk memulihkan diri di rumah saudaranya. Terkurung di tempat tidurnya, ia diberi buku-buku saleh untuk dibaca, yang dengan enggan ia terima. Tetapi ia terkejut, ia menikmatinya dan mulai bercita-cita menjadi “Ksatria Kristus”, mengejar cita-cita St. Fransiskus dan St. Dominikus. Dia akhirnya berjanji untuk mengabdikan hidupnya untuk menjadi ksatria St Petrus jika dia pulih kembali. Janjinya ia tepati setelah sembilan bulan masa pemulihan. Ignasius memperhatikan bahwa setelah melakukan perbuatan baik untuk Tuhan, dia merasa damai – yang dia sebut sebagai konsolasi (penghiburan), tetapi ketika dia berpikir untuk menjadi seorang prajurit yang hebat atau membuat orang terkesan seperti yang ia lakukan pada masa lalunya, dia kemudian terasa kering dan kosong. Melalui proses penegasan ini, Ignatius dapat mengenali bahwa Allah memimpinnya untuk mengikuti jalan pelayanan. Dari pengalaman ini ia menulis “Latihan Rohani” yang terkenal.
Setelah berziarah dan belajar di sekolah yang berbeda, ia menyelesaikan studinya di Paris, di mana ia menerima gelar pada usia 43. Banyak yang awalnya tidak suka dengan St. Ignatius karena gaya hidupnya yang rendah hati dan keras. Meskipun demikian, ia menarik banyak pengikut di universitas, termasuk St. Fransiskus Xaverius, yang menjadi misionaris dan orang kudus yang hebat. Dan segera Ignatius mendirikan Serikat Yesus.
Dia melakukan perjalanan ke Eropa dan Tanah Suci, lalu menetap di Roma untuk mengarahkan para Yesuit. Kesehatannya menurun di tahun-tahun berikutnya, hingga hampir buta saat meninggal. Dia meninggal pada usia 65.
Semangat Hidup St. Ignasius dibangun atas perubahan atau transformasi yang dialaminya sendiri dari Latihan Rohani.
Spiritualitas Ignasius nampak dalam nasihat-nasihatnya untuk kita:
“Ad Majorem Dei Gloriam.” – (demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar) yang memimpin semua keputusan dan tindakannya. Ini didasarkan pada Prinsip dan Dasar dari Latihan Rohaninya, yang dapat dijabarkan demikian:
“Allah dalam kebebasan-Nya menciptakan kita agar kita dapat mengetahui, mencintai dan melayani Dia dalam hidup dan bahagia bersama-Nya selama-lamanya. Tujuan Tuhan menciptakan kita adalah untuk menarik dari kita suatu tanggapan cinta dan pelayanan di sini di atas bumi, agar kita dapat mencapai tujuan kita yakni kebahagiaan kekal bersama-Nya dalam surga. Segala sesuatu di dunia ini adalah anugerah Allah, dicipta bagi kita, menjadi sarana bagi kita untuk mengetahui, mencintai dan melayani Dia dengan lebih setia. Dengan demikian, kita harus menghargai dan menggunakan karunia-karunia Allah itu sejauh membantu kita mencapai tujuan kita untuk melayani dan bersatu dengan Allah. Tetapi apabila hal-hal itu menghambat kemajuan kita menuju tujuan kita, kita harus melepaskannya.”
Oleh sebab itu, prinsip hidup dan tindakan kita haruslah “bagi kemulian Tuhan yang lebih besar.”
Untuk itu kita perlu mempunyai semangat “Magis” – berbuat lebih, memberi lebih. Cinta selalu mencari jalan untuk memberi dan mengasihi.
Aspek lain dari itu adalah “Insignis” : unggul dan heroik – tidak pernah puas bila kita hanya setengah-setengah dalam mencintai dan melayani Tuhan dan sesama.
Itu juga yang dilakukan dalam penegasan rohani, yang bukan sekadar memilih antara yang baik dan jahat, tetapi memilih kebaikan yang lebih besar lagi.
Dasar yang lain dari hidup rohaninya adalah komitmen untuk mengikuti Yesus yang tersalib bagi kita, dan diutus bersama Kristus.
Ketika mengutus St. Fransiskus Xaverius ke tanah misi ia berkata: “Pergilah dan nyalakan dunia! Go forth and set the world on fire!”
Prinsip lainnya yang menuntutn karya Ignasius adalah: “Bertindaklah seakan-akan segalanya tergantung padamu; dan percayalah seakan-akan segala sesuatu tergantung pada Tuhan.”
“Act as if everything depended on you; trust as if everything depended on God.”
Spiritualitas Ignasian menempatkan salib pada pusat hidup. Dalam salah satu permenungan bagian pertama Latihan Rohani, di hadapan Yesus yang tersalib demi cinta-Nya bagi kita, direnungkan beberapa pertanyaann ini:
“Apa yang telah aku lakukan untuk Yesus?”
“Apa yang sedang aku lakukan untuk Dia?”
“Apa yang seharsunya aku lakukan untuk Dia?”
Dalam penglihatan yang dialami oleh Ignasius di La Storta dalam perjalanannya ke Roma, Ignasius melihat Yesus memikul salib. Dan Ignasius berdoa kepada Bapa: “Tempatkan aku bersama Putera-Mu.” Dan ketika ia menasihati seseorang yang mengeluh atas penderitaannya, ia berkata:
“Jika Tuhan mengijinkan engkau menderita, itu adalah tanda bahwa Ia mempunyai rencana besar untukmu, dan bahwa Ia menghendaki engkau menjadi seorang kudus. Dan jika engkau ingin menjadi seorang kudus, mohonlah kepada-Nya untuk memberimu banyak kesempatan untuk menderita; karena tidak ada kayu yang lebih baik untuk menyalakan api kasih suci daripada kayu salib, yang digunakan Kristus untuk pengorbanan terbesar-Nya demi kasih tak terbatas.”
Ignasius juga menasihati: “Beberapa jiwa mengerti apa yang akan Allah capai di dalam mereka jika mereka menyerahkan diri tanpa pamrih kepada-Nya dan jika mereka membiarkan rahmat-Nya untuk membentuk mereka demikian”
Dan akhirnya, marilah kita bersama dengan berdoa:
Tuhan ajari aku kemurahan hati yang sejati,
agar dapat melayani Engkau sepantas-pantasnya,
agar dapat memberi tanpa menghitung biaya,
agar dapat berjuang tanpa memperhatikan luka,
agar dapat bekerja tanpa mencari istirahat,
agar dapat mengorbankan diri tanpa memikirkan ganjaran
asalkan aku tahu bahwa aku melakukan kehendak-MU.
Amin.