Sabda Hidup
14 Agustus 2020, Peringatan St. Maximilianus Maria Kolbe.
“Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
(Mat 19: 6)
Salah satu ancaman terbesar terhadap masa depan manusia saat ini bukanlah perang nuklir, tetapi serangan terhadap institusi perkawinan, keluarga dan selibat. Ini adalah strategi si jahat, sebab dengan menghancurkan stabilitas perkawinan dan keluarga, manusia akan tak berdaya. Semakin banyak kejahatan akan dilakukan karena kurangnya fondasi cinta dan nilai-nilai yang dibangun dalam hidup kelaurga. Karena alasan itulah maka Gereja selalu mengajarkan bahwa fondasi perkawinan dan keluarga terdapat pada perkawinan antara pria dan wanita yang tak terceraikan; dan bagi mereka yang tidak dipanggil untuk hidup perkawinan, hidup selibat.
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menetapkan fondasi bagi perkawinan dengan menunjuk pada penciptaan. “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging,” (Mt 19: 4-5). Demikianlah Allah menciptakan kita. Dengan demikian, jelas bahwa bagi Yesus Allah juga tidak menghendaki perkawinan sejenis. Orang tidak dapat membenarkan pilihan perkawinan sejenis dengan dasar penciptaan. Itu adalah suatu anomaly, bukan suatu pilihan.
Mengalir dari prinsip itu, Yesus mengutuk perceraian. “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Mt 19: 9). Selama perkawinan dirayakan dengan benar, yaitu dengan kehendak bebas dan keputusan yang dewasa dari kedua pihak, maka perkawinan itu valid dan tak terceraikan. Jika dapat dibuktikan sebaliknya, dan tidak ada perkawinan seperti dimengerti oleh Yesus, maka bisa dibatalkan. Oleh sebab itu, Gereja, seperti juga Yesus, tidak dapat menerima perceraian, yang ada adalah pembatalan (anulisasi) karena cacat sejak perkawinan. Dengan perkawinan pria dan wanita secara permanen dimeteraikan dalam kesatuan.
Dalam kaitan itu, mereka yang single dipanggil untuk selibat. Yesus berkata , “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga,” (Mat 19: 12). Hidup sendiri menjadi pilihan seseorang, entah karena tidak dipanggil untuk hidup perkawinan atau karena seeorang ingin mempersembahkan dirinya untuk melayani Allah dan sesama, entah dengan memberikan diri bagi imamat atau hidup religius. Bagaimanapun juga, entah kita imam, religius, menikah atau single, kita semua dipanggil untuk mengasihi dan memberikan diri dalam kasih dan pelayanan untuk memajukan keluarga, perkembangan masyarakat dan kesejahteraan manusia.
Sesuai dengan rencana Allah. Gereja menetapkan yang ideal itu sebagai hukum bagi umat beriman agar kita dapat menghidupi rencana Allah sehingga kita dapat hidup secara integral. Hukum Kristus dan Gereja dalam menjaga perkawinan dan keluarga itu benar. Sebuah keluarga yang stabil dimana kasih dan perhatian satu sama lain dihidupi memberikan rasa aman bagi siapa saja dalam keluarga. Ketika tidak ada komitmen dari kedua orang tua, anak-anak akan hidup dalam kekhawatiran akan perpisahan, ketika orang tua mereka bercerai. Mereka akan kehilangan kasih atau bahkan terpisah dengan saudara-saudara mereka. Benarlah perkawinan didefinisikan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan sejenis tidak memberi asuhan yang holistik bagi anak-anak. Setiap anak lahir dari persatuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan, dan karena itu memiliki hak untuk dibersarkan oleh pasangan yang memberi hidup kepada mereka. Pasangan sejenis tidak dapat memberikan kasih yang utuh bagi setiap anak.
Bagaimana dengan selibat baik imamat maupun sebagai religius? Tuntutan bagi imam dan religius untuk selibat itu layak dan mulia. Selibat akan membantu pribadi yang bersangkutan untuk commit secara penuh kepada Kristus dan pelayanan umat manusia. St. Paulus menegaskan, “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya,” (1 Kor 7: 32 – 34). Selibat berarti komitmen total kepada Tuhan sebagai mempelaiNya.
Maka, kita diingatkan agar baik mereka yang dipanggil untuk hidup dalam perkawinan maupun mereka yang dipanggil untuk selibat, hidup dalam komitmen yang teguh. Kita masing-masing dipanggil untuk menguduskan bentuk hidup yang kita pilih dengan bebas, dalam tutur kata dan tindakan sehari-hari.
Bacaan Misa hari ini: Yeh. 16:1-15,60,63 atau Yeh. 16:59-63; MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6; Mat. 19:3-12;