Kebanyakan dari kita adalah orang-orang sibuk. Kita hidup dengan multi peran. Bukan cuma peran ganda tetapi multi peran, multi-task. Kita punya pekerjaan yang sudah membuat kita sibuk. Kita harus memperhatikan anak-anak, merawat orang tua, memperhatikan mertua, menampung saudara-saudara lainnya, dan masih banyak lagi. Kita khawatir akan pendidikan anak-anak. Kita harus menjaga komunikasi yang baik dengan suami atau istri, atau anak, atau orang tua, sampai ke tingkat emosional. Jika orang-orang terkasih terbaring sakit, tidak bisa apa-apa lagi, membuat kita lebih sibuk lagi. Belum lagi kita punya tanggung jawab di tengah Gereja dan masyarakat. Waktu dan pelbagai macam sumber daya terkuras…..
Dalam Injil hari ini kita juga mendengar tentang hidup Yesus yang sibuk. Dia mengajar secara rutin di sinagoga. Segera sesudah pelayanan yang melelahkan di sinagoga, belum sempat ia beristirahat, sudah dipanggil untuk menyembuhkan mertua Petrus. Dan “Ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam penyakit. Iapun meletakkan tangan-Nya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka,” (Luk 4: 40). Ketika pagi tiba, Ia pergi berdoa, tetapi bahkan sebelum Ia selesai ebrdoa, orang sudah mencari Dia. Hari-hari yang sangat sibuk.
Masalahnya dengan kita, ketika kesibukan serasa menghimpit kita, kita mulai merasa lelah, capek, kita menjadi tegang, kesal, lelah dan pemarah. Dalam melayani orang lain, kita tidak hati-hati dengan kata-kata dan tindakan kita karena stres, dan akhirnya kita menyakiti orang entah secara sadar atau tidak sadar. Suami atau istri terluka oleh ucapan kita; anak-anak kita ngambek karena kita marah atau karena tidak memberikan waktu yang cukup untuk mereka. Umat juga terluka oleh imamnya atau susternya yang kasar dan marah-marah…..
Apakah masalah sebenarnya? Kita sering kehilangan fokus. Kita seringkali melakukan sesuatu hanya untuk memenuhi tanggungjawab kita. Kita lupa yang inti: pelayanan kasih. Jika segalanya sekadar menjadi aktivitas tanpa hati, kita melupakan misi kita. “Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus,” kata Yesus (Luk 4: 43). Yesus tidak melupakan misi-Nya. Ia diutus untuk memberitakan Kabar Gembira cinta Tuhan. Kadang kita lupa, bahwa tugas kita bukan sekadar memastikan anak-anak sekolah dengan baik, tetapi juga bertumbuh dalam kasih dan kebenaran. Kita sering kali lupa bahwa merawat orang tua adalah cara kita bertumbuh dalam kasih dan membagikan kasih itu dengan mereka. Imam-imam pun ketika kehilangan fokus, kesibukannya dalam banyak hal bukan melayani umat Allah tetapi melayani diri sendiri, puas dengan puja-puji, bukan memuliakan Allah tetapi memuliakan diri sendiri. Pelayanan bukan untuk semua, tetapi untuk orang-orang di seputar dia saja, yang memenuhi ambisi-nya.
Dasar dari semua itu, yang sering kita lupakan, adalah: waktu yang cukup untuk heing dan tenang bersama dengan Tuhan. Itulah yang dilakukan Yesus: “Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi.” Ketika kita melupakan waktu untuk berdoa dan memilah-milah tindakan kita, kita kehilangan fokus. Ketika kita kehilangan fokus, kehilangan motif terdalam dari aktivitas kita, maka kita mulai mencari diri sendiri, keamanan kita, kenyamanan kita, ketimbang melayani orang lain dengan sungguh-sungguh. Kita sering jatuh dalam godaan untuk mencari kemuliaan duniawi, kebutuhan material dan keamanan kita bahkan ketika kita mengklaim bahwa kita melayani orang lain. Yesus selalu sadar akan godaan halus ini untuk mencari kemuliaan dan keamanan. Itulah sebabnya, Ia menegur roh-roh jahat “dengan keras melarang mereka dan tidak memperbolehkan mereka berbicara, karena mereka tahu bahwa Ia adalah Mesias.” Dia tidak ingin orang-orang datang kepada-Nya karena alasan yang salah. Dia tidak mencoba untuk membangun kerajaan-Nya sendiri, tetapi untuk mewartakan Kabar Baik belas kasih Bapa-Nya.
Semoga kita tidak melupakan yang utama dan terutama.