Sabda Hidup
Senin, 9 Agustus 2021, Senin Pekan Biasa XIX
Pada waktu Yesus dan murid-murid-Nya bersama-sama di Galilea, Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” Maka hati murid-murid-Nya itupun sedih sekali. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: “Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?” Jawabnya: “Memang membayar.” Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan: “Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?” Jawab Petrus: “Dari orang asing!” Maka kata Yesus kepadanya: “Jadi bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga.”
(Mat 17: 22 – 27)
Ada dua bagian dalam perikope Injil hari ini. Dalam bagian pertama, Yesus menyatakan kepada para murid-Nya sengsara dan wafat-Nya yang akan datang. Hal itu membuat para murid sangat sedih. Kesedihan adalah hal yang normal ketika kita berhadapan dengan kepergian atau kematian seseorang yang kita kasihi. Kita semua pernah mengalami kesedian seperti itu, kesedihan yang dirasakan oleh para murid dalam Injil hari ini. Dalam arti tertentu, kita menghidupi kesedihan seperti itu setiap saat. Apalagi saat ini. Setiap hari mendengar atau membaca kabar duka. Walau demikian kita tidak dapat membiarkan kesedihan seperti itu menguasai kita. Kita harus tetap melangkah, menatap ke depan dalam kekuatan yang Yesus berikan kepada kita. Yesus dan para murid pun tetap maju, tetap menatap ke depan meski sengsara menanti.
Bagian kedua dari perikope Injil kita, mungkin terasa lebih menyenangkan. Ketika mereka tiba di rumah Simon Petrus di Kapernaum, mereka berbincang tentang pajak Bait Allah. Pajak dua dirham dibayar oleh setiap orang Yahudi yang sudah dewasa setiap tahun, untuk pemeliharan Bait Allah. Melalui apa yang dikatakan Yesus, sebenarnya jelas bahwa Ia dan para pengikut-Nya tidak wajib membayar pajak, sebab Ia sendirilah Bait Allah. Namun, Ia tetap berkata kepada Petrus untuk membayar pajak itu agar tidak menjadi batu sandungan. Dengan kata lain, sesungguhnya Ia bebas. Tetapi Ia memilih untuk menggunakan kebebasan-Nya demi cinta kasih. Ini mengingatkan kita bahwa kesadaran kita mengatakan bahwa kita bebas dalam hal-hal tertentu, namun sering kali kita tidak harus bersikukuh dengan kebebasan kita, demi cinta kasih, demi kebaikan sesama.
Bagaimanakah saya mempergunakan kebebasan saya? Apakah kehadiran saya menjadi berkat atau batu sandungan?
Bacaan hari ini: Ul. 10:12-22; Mzm. 147:12-13,14-15,19-20; Mat. 17:22-27.