Remah Mingguan

KATOLIK MINIMALIS

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Minggu, 4 Oktober 2020, Minggu Biasa XXVII Tahun A

“Adalah seorang tuan tanah membuka kebun anggur dan menanam pagar sekelilingnya. Ia menggali lobang tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga di dalam kebun itu. Kemudian ia menyewakan kebun itu kepada penggarap-penggarap lalu berangkat ke negeri lain. Ketika hampir tiba musim petik, ia menyuruh hamba-hambanya kepada penggarap-penggarap itu untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya.”

(Mat 21: 33 – 34)

Pada tahun 1978, seorang pria pergi ke Cincinnati, Amerika Serikat untuk menghadiri pemakaman Max Ellerbusch. Max Ellerbusch telah layaknya menjadi ayahnya sendiri selama 20 tahun. Hal yang biasa bahwa seseorang mengangkat seseorang menjadi anaknya. Tetapi apa yang terjadi dengan Max ini aneh. Suatu ketika, seorang anak laki-laki berumur 15 tahun dengan diam-diam mengambil mobil ibunya, mengendarainya dan menabrak anak laki-laki Max yang berumur 5 tahun hingga tewas.

Segera sesudah kecelakaan itu, pengadilan dikejutkan dengan keputusan Max. Ia mencabut segala tuntutan terhadap anak laki-laki itu. Malahan ia memberinya pekerjaan serta mengusahakan pendidikan bagi anak itu hingga berhasil. Max lebih dari sekadar mengadopsi anak 15 tahun itu dalam keluarganya. Anak itu tinggal bersamanya, dan Max dengan sungguh-sungguh mencoba mengasihi dan mengerti anak yang bermasalah itu.

Kita mungkin akan berpikir bahwa Max sedikit gila! Bagaimana mungkin ia mengasihi seorang remaja yang baru saja membunuh anaknya yang berusia 5 tahun, bahkan mengangkatnya menjadi anaknya!

***

Jika Max sedikit gila, Allah benar-benar gila! Kita tahu kelanjutan kutipan Injil di atas. Perumpamaan Injil kita hari ini melukiskan Allah sebagai pemilik kebun anggur, melengkapinya pagar, lubang untuk memeras anggur, menara jaga lalu menyewakannya pada para pekerja. Ketika musim panen tiba, ia mengutus hamba-hambanya untuk menanyakan panenan, tetapi para pekerja itu justru membunuh mereka. Para pekerja itu menginginkan bukan hanya hasil kebun anggur itu, tapi semuanya. Berulang kali ia mengirim utusan, tetapi semuanya dibunuh. Akhirnya ia mengutus anaknya sendiri. Ia berpikir bahwa anaknya akan disegani. Tetapi anaknya pun dibunuh. Ia tahu bahwa semua yang diutusnya dibunuh, tetapi ia masih mengutus anaknya! Itu gila! Tetapi itulah Allah kita. Sebab Allah mengasihi tanpa syarat.

Bagi orang-orang Yahudi, arti dari perumpamaan itu sangat jelas. Allah telah memilih mereka untuk menjadi umat pilihannya. Ia telah memberikan segala sesuatu kepada mereka, tetapi mereka menolak. Mereka bahkan membunuh nabi-nabi yang diutus-Nya. Bahkan mereka membunuh Putera-Nya sendiri dengan hukuman mati di salib. Oleh karena penolakan itu Allah “menyewakan” kebun anggur itu kepada orang-orang bukan Yahudi. Walau demikian, seperti Ia mengharapkan hasil dari para penggarap terdahulu, Ia tetap mengharapkan hasil yang sama dari para penggarap baru.

Perumpamaan itu juga merupakan peringatan bagi kita, para penggarap baru. Apakah kita sudah menghasilkan buah-buah yang diharapkan?Atau kita menjadi orang Katolik yang minimalis saja? Sekadar memenuhi kewajiban minimal seperti misa hari Minggu dan menerima komuni?

Ada seorang suami yang dengan setia mencurahkan kata-kata cinta kepada istrinya, tapi tak pernah berbuat sesuatu untuk membuktikan cintanya. Hingga suatu hari, ia bertanya kepada isterinya: “Ada apa? Adakah yang salah? Aku tidak berbuat apa-apa kepadamu. Aku tidak selingkuh, tidak berjudi, tidak pernah ringan tangan memukulmu!”

Istrinya menjawab: “Itulah masalahnya! Kamu tidak berbuat apa-apa untuk membuktikan cintamu! Kamu kira dengan kata-kata saja cukup? Kamu kira dengan tidak berbuat salah saja cukup?”

Menjadi seorang Katolik sejati juga tidak cukup hanya berkata: “Saya tidak berbuat sesuatu yang salah.” Menjadi seorang Katolik bukanlah soal apa yang tidak saya perbuat, tetapi apa yang saya buat dan dapat saya buat.

Kita orang-orang Katolik pergi misa pada hari Minggu dan menerima komuni. Tentu itu hal yang baik. Tetapi kalau hanya minimalis seperti itu dan tidak melakukan upaya untuk bertumbuh dalam iman, kita mengabaikan salah satu maksud Ekaristi, yaitu menyatakan kasih kita kepada Allah dalam hidup sehari-hari, antara lain dengan melawan ketidakadilan atau mengangkat saudara-saudari kita yang menderita. Bahkan Yesus meminta kita juga mengasihi musuh dan bahkan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Kita berusaha mengasihi seperti Allah yang mengasihi kita tanpa syarat.

Sudahkah kita bekerja keras agar iman kita menghasilkan buah-buah nyata kasih dan keadilan?

***

Dari perumpamaan ini, kita juga dapat belajar banyak tentang relasi kita dengan Allah. Allah memberikan hak istimewa kepada manusia. Seperti para penggarap kebun anggur itu, apa saja yang kita “miliki” adalah hak istimewa, privilese, bukan karena jasa-jasa kita. Apakah jasa kita sehingga kita menerima hidup kita? Segalanya adalah anugerah, Hidup kita adalah anugerah. Kita hidup bukan karena jasa-jasa kita. Setiap saat hidup itu dapat saja diambil dari kita. Namun, anugerah istimewa itu datang dengan tanggungjawab. Kita tentu saja bertanggungjawab kepada Allah atas bagaimana kita menggunakan anugerah itu. Allah sudah menyiapkan segala yang diperlukan untuk mengelola anugerah itu dengan benar. Namun, Allah juga memberi kita kebebasan, walau ada peluang bagi kita untuk menyalahgunakan kebebasan. Semoga kita cukup bijaksana untuk tidak menyalahgunakan anugerah yang kita terima, dan menggunakan, mengelola, segala anugerah dan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada kita.

Sudahkah saya mengelola segala anugerah dan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepada kita agar menghasilkan buah melimpah? Jangan minimalis!

Bacaan Misa hari ini” Yes. 5:1-7Mzm. 80:9,12,13-14,15-16,19-20Flp. 4:6-9Mat. 21:33-43

Author

Write A Comment