Remah Harian

KASIH TANPA BATAS

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Kamis 9 September 2021, Kamis Pekan Biasa XXIII

Bacaan: Kol. 3:12-17; Mzm. 150:1-2,3-4,5-6; Luk. 6:27- 38.

“Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.”

(Luk 6: 27 – 28)

Paulus meminta kepada jemaat di Kolose agar hidup yang telah mereka terima dalam baptisan dinyatakan dalam tindakan. Karunia paling berharga yang telah mereka terima adalah kasih, Kasih yang mengikat dalam kesatuan dan kesempurnaan segala keutamaan yang telah mereka terima dan juga mengikat semua orang Kristen sebagai satu umat Allah: menjadi satu tubuh. “Di atas semua itu, kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh,” (Kol 3: 14 – 15)

Kasih itu tidak berhenti pada simpati saja. Kasih Injili, kasih imani, tidak mengenal batas. Seorang yang mengasihi akan lebih memberi ketimbang meminta, mengasihi mereka yang tak pantas dikasihi, termasuk musuh-musuh. Kasih tidak menghakimi atau menghukum, kasih selalu siap untuk berbelarasa dan mengampuni. Saat kita melihat semua tuntutan Yesus ini, kita harus mengakui dengan jujur bahwa kita masih jauh dari ideal yang diberikan oleh Tuhan kita. Sejauh mana kita menjadi tanda kasih Allah di dunia ini?

Penulis Injil berusaha untuk menampilkan Yesus sebagai Musa baru – pemberi hukum yang baru – Sang Mesias. Sepulu perintah Allah membentuk dasar iman Yahudi yang memberi mereka pedoman baik bagi kehidupan beragama maupun kehidupan sosial. Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberi pedoman baru bagi mereka yang mengikuti-Nya. Ia menafsirkan kembali hukum dan memberikan perintah kasih sebagai perintah terpenting dan utama.

Dalam Injil hari ini, Yesus memberi seperangkat nilai-nilai yang baru bagi murid-murid-Nya, menerangkan secara detil perintah kasih, yang mencakup berbuat baik, memberkati, berdoa, tidak menolak tetapi selalu memberi. Di sini perintah kasih diberikan dengan suatu paradoks: mengasihi bahkan musuh-musuh kita dan berbuat baik kepada mereka yang membenci kita; memberkati mereka yang mengutuk; berdoa bukan hanya untuk kebutuhan kita dan bagi mereka yang kita kasihi atau orang-orang dekat kita, tetapi juga berdoa bagi mereka yang mencaci kita. Tantangan terbesar yang akan mengusik hati nurani kita adalah perintah untuk memberi. Kebaruan Injil terletak dalam pemberian diri, memberikan diri tanpa mengharapkan balasan.

Ajakan Yesus untuk membalas penghinaan dan kebencian dengan kasih, telah menciptakan budaya baru. Paus Fransiskus menyebutnya “Budaya Belaskasih”. Dalam Surat Apostolisnya pada Tahun kerahiman, Misericordia et Misera (20) ia menulis: “Budaya belas kasih harus menggerakkan revolusi budaya yang nyata – sebuah revolusi cinta, di mana para protagonis adalah para martir sepanjang masa.” Dan Yesus memastikan bahwa perilaku kita, yang terispirasikan kasih bagi mereka yang melukai kita, tidak akan sia-sia. Ia berkata: “Ampunilah, maka kamu akan diampuni, berilah, maka kamu akan diberi.”

Mungkinkah mengasihi musuh dan berbuat baik kepada mereka yang membenci kita? Itulah yang selalu dilakukan oleh Allah. Pada dasarnya, Allah adalah kasih. Dan Allah telah menciptakan kita “untuk berbuat baik dan meminjamkan tanpa mengharapkan balasan, dan karena itu besarlah upah kita.”

“Jangan menghakimi” adalah suatu perintah baru – sama pentingnya dengan sepuluh perintah Allah. Penghakiman selalu terjadi karena perbandingan – kita membandingkan diri kita sendiri dengan orang lain dan dengan itu kita menilai seberapa baik atau seberapa buruk diri kita. Allah tidak membanding-bandingkan, karena ia menciptakan kita masing-masing unik, satu-satunya. Tak terbandingkan, dan oleh sebab itu, Yesus berkata bahwa Ia sendiri tidak akan menghakimi. Jalan Yesus adalah jalan kemurahan hati, memberikan diri tanpa ukuran. Ia datang ke dunia untuk menyelamatkan dan memberikan diri-Nya, Ia mengampuni, tak pernah berbicara buruk, tidak menghakimi.

Bagaimanakah dengan kita?

Author

Write A Comment