Sabda Hidup
Minggu, 14 Februari 2021, Minggu Biasa VI Tahun B
“Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”
(Mrk 1: 40 – 41).
Suatu ketika, seorang pengusaha kaya mengunjungi Ibu Theresa di Calcutta. Ia sangat heran melihat bagaimana suster-suster mencuci luka-luka pasien yang sudah membusuk dan berbau. Tidak jarang mereka harus mengeluarkan ulat-ulat dari luka-luka itu. Pengusaha itu berkata kepada Ibu Theresa, “Saya tidak akan melakukan hal seperti itu meski saya diberi satu lakh rupee.” (1 Lakh Rupe sama dengan Rp 19,268,834.16 dengan kurs saat ini.) Terhadap pengusaha kaya itu Ibu Theresa menjawab, “Saya juga tidak akan melakukan itu untuk 1 lakh rupee. Saya melakukan itu untuk cinta saya kepada Yesus.”
* * * *
Bacaan pertama hari Minggu ini berhubungan dengan Bacaan Injil. Perikope Kitab Imamat 13: 1 – 3. 44 – 46 merupakan bagian dari Imamat 13 – 14 yang secara khusus berbicara tentang ketahiran dari penyakit Kusta. Im 13 berbicara tentang penentuan penyakit kusta dan bahwa penyakit itu membuat orang menjadi najis. Penyakit itu menyingkirkan si penderita dari masyarakatnya. Sakit, cacat tubuh, atau penderitaan lain sering kali dilihat sebagai hukuman Allah. Oleh karena itu, orang sakit diperlakukan sebagai pendosa. Mereka dikucilkan dari lingkungan biasa dan diperlakukan sebagai orang tak biasa. Bahkan mereka dicap najis. Yang kotor, yang berdosa, dan yang najis harus dikucilkan, dikutuk, di asingkan jangan sampai ada orang yang cukup dekat sehingga “tertular” oleh dosa mereka.
Namun Injil memberikan gambaran yang berbeda. Apakah kusta memang hukuman Allah? Apakah perlakuan yang tidak manusiawi, yang dilakukan terhadap penderita kusta seperti yang dijelaskan dalam Kitab Imamat kehendak Allah? Jika memang hal-hal ini adalah kehendak Allah, maka tidak mungkin Yesus, Yang Diurapi Allah, ingin menyembuhkan seorang penderita kusta. Sebaliknya, jika penyakit kusta merupakan penyakit seperti penyakit lainnya, maka Yesus yang sebelumnya menyembuhkan banyak orang sakit, tentu akan menyembuhkan penderita kusta itu.
Si kusta dalam Injil memutuskan untuk menemukan kebenaran. Mengabaikan hukum yang mengharuskan dia menjauh dari orang lain, ia mendekati Yesus dan berlutut di hadapan-Nya. Dari pada berseru “Najis! Najis! ”Dia berkata kepadanya “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku,” (Mrk 1:40). Yesus menjawab, “”Aku mau, jadilah engkau tahir,”(Ayat 41). Ada dua hal yang dilakukan Yesus. Pertama, Ia memulihkan kesehatan penderita kusta. Kedua, tindakan-Nya menyembuhkan si kusta menunjukkan bahwa kusta bukanlah hukuman Allah, melainkan penyakit seperti penyakit lain yang menghalangi orang untuk hidup sepenuhnya seperti yang diinginkan oleh Allah.
Menurut kepercayaan orang Yahudi, kontak fisik dengan penderita kusta membuat seseorang menjadi najis. Orang-orang suci diharapkan menjaga jarak dari penderita kusta. Dengan latar belakang inilah tindakan Yesus yang mengulurkan tangan dan menjamah si kusta sungguh tak terpikirkan. Apakah dia tidak takut menjadi najis? Apa yang terjadi disini? Yesus menantang dan mendefinisikan kembali pandangan tentang yang kudus dan yang najis. Yesus menantang prasangka tradisi semasa bahwa orang-orang tertentu najis karena kondisi kesehatan, status sosial, atau kelahiran mereka. Dengan menjangkau dan menjamah penderita kusta serta menahirkannya, Yesus mengajar kita, para pengikut-Nya, untuk menjangkau dan merangkul yang mereka yang dianggap tidak manusiawi dan yang terbuang di antara kita. Solidaritas dengan yang mereka yang tersingkir dan terpinggirkan, tidak merendahkan kita, melainkan memanusiakan mereka yang sering dianggap sampah masyarakat.
Adakah orang-orang yang saya singkirkan? Adakah orang-orang yang saya anggap kusta? Siapa penderita kusta dalam hidup kita? Yang kita anggap najis?
Mungkin seseorang yang kita kenal, yang sudah menikah tiga kali dan sekarang pun punya hubungan tidak jelas dengan seseorang….. Apakah kita mengusirnya dari kehidupan kita, mengasingkannya, atau merangkulnya seperti Yesus?
Mungkin seorang anak lelaki yang di sekolah tidak lulus-lulus karena ia menggunakan narkoba dan dan diusir oleh orang tuanya, yang terus menerus mencuri untuk membeli pil-pil itu. Ketika ia mendekati anda apakah anda akan mengusirnya atau mengulurkan tangan dan menyentuhnya?
Atau seorang ayah atau ibu…. yang karena sesuatu hal anak-anaknya tidak mau bicara lagi…. dan sekarang dia berada di panti jompo dan tidak ada yang mau melihatnya… Apakah Anda akan mengusirnya, atau mengulurkan tangan dan menyentuhnya?
Semua orang berdosa itu… semua orang yang berbau… yang cacat… yang menderita penyakit tak tersembuhkan…. yang kena HIV…. yang kudisan…. yang terbebani oleh kesedihan dan ketakutan, yang terisolasi…. Apakah Anda akan mengusir mereka atau mencari mereka dan merangkul mereka seperti Yesus?
Kasih bukan menyingkirkan. Kasih tidak membuang. Kasih merangkul dan memulihkan. Kasih mencari dan menyelamatkan yang hilang. Kasih mengampuni. Itulah kasih Allah yang tak pernah berubah. Siapapun saya dan anda, seperti apapun saya dan anda, tak pernah Ia buang. Tak pernah Ia kucilkan. Hanya diperlukan hati yang terbuka untuk kasih-Nya. Akankah saya turut dalam gerakan kasih-Nya?
Selamat hari Minggu. Selamat Hari Kasih Sayang!
Bacaan Misa hari ini: Im. 13:1-2,44-46; Mzm. 32:1-2,5,11; 1Kor. 10:31-11:1; Mrk. 1:40-45