Sabda Hidup
Senin 25 Oktober 2021, Senin Pekan Biasa XXX
Bacaan: Rm. 8:12-17; Mzm. 68:2.4,6-7ab,20-21; Luk. 13:10-17.
Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: “Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah.
(Luk 13: 12 – 13)
Kita baca dan dengarkan sekali lagi kisah penyembuhan dalam Injil hari ini. Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang bungkuk dan sudah menderita selama 18 tahun. Yesus sedang mengajar di Synagoga. Synagoga menjadi tempat berkotbah dan mengajar pada masa pelayanan publik Yesus. Ada banyak Synagoga. Ada yang memperkirakan pada waktu itu ada lebih dari 400 Synagoga di Yerusalem. Perlahan, dalam pelayanan Yesus, Synagoga tak lagi menjadi tempat mengajar. Barangkali itu karena pertentangan yang semakin meningkat antara para Farisi dan Yesus, atau Yesus sendiri disingkirkan dari agama Yahudi karena kritik keras yang sering Ia lontarkan terhadap para pemimpin agama yahudi.
Masih ingat Injil kemarin? Dalam Injil kemarin kita menjumpai Yesus yang menyembuhkan Bartimeus yang buta. Sebelum menyembuhkan Bartimeus, Yesus bertanya kepadanya: “Apa yang kau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Namun dalam Injil hari ini kita lihat perbedaan mencolok. Tidak ada permintaan dari perempuan yang bungkuk itu. Malahan ditulis di sana: “Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: “Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” Seluruh tindakan berasal dari Yesus sendiri. Ia melihatnya, memanggilnya, dan berkata kepadanya. Ketika Ia melihat perempuan itu yang menderita karena cacatnya selama 18 tahun, HATI-Nya tergerak, Ia merasa iba. Hati-Nya “tercurah” kepada perempuan itu tanpa permintaan minta tolong dari perempuan itu. Kenyataan bahwa ia adalah seorang perempuan, Yesus mengerti betapa ia menderita. Perempuan sering kali direndahkan dalam masyarakat, apalagi dalam masyarakat Yahudi pada masa Yesus. Punggungnya yang bungkuk memperberat penderitaannya. Walau demikian, ia tetap berusaha datang ke Synagoga. Maka, karena tergerak Hati-Nya, Yesus menjamah perempuan itu dan berkata kepadanya bahwa ia telah disembuhkan dari cacatnya. Itulah Yesus. Ia mengerti duka dan penderitaan orang. Itu juga merupakan misi yang harus kita lanjutkan. Kita tidak perlu menunggu orang dengan formal meminta bantuan kepada kita. Apakah mata kita terbuka bagi penderitaan sesama? Apkah kita siap untuk mengulurkan tangan, menjamah mereka dengan hati penuh belas kasih?
Tak jarang pula kita berada dalam posisi perempuan itu. Ia bungkuk dan tak dapat berdiri tegak. Bungkuknya menghalanginya untuk berdiri tegak dan melihat kepada siapapun. Betapa susahnya bagi perempuan itu melihat Yesus. Sering kali kondisi hidup rohani kita juga sama. Kita tertekan dan secara rohani kita bungkuk. Kita tak dapat berdiri tegak. Kuasa dan kekuatan dosa begitu kuat sehingga kita malu untuk melihat/memandang Yesus. Tetapi Yesus adalah belas kasih yang terjelma. Ia mengerti penderitaan yang menyedihkan kita karena dosa dan Ia siap mengulurkan tangan-Nya membantu kita untuk berdiri tegak dalam hidup. Mari kita percayakan diri kepada-Nya.
Bagi kepala rumah ibadat, Yesus hanyalah seorang pembuat mukjizat, seorang penyembuh biasa, seorang tabib. Ia gagal untuk mengerti ke-Ilahian Yesus. Tetapi perempuan itu dan orang banyak menyadari siapa Yesus. Oleh sebab itu mereka “bersukacita karena segala perkara mulia yang dilakukan-Nya.” Sedangkan kepala rumah ibadat itu menjadi gusar. Menurutnya, Yesus tak lagi menghormati hari sabat. Maka Yesus menunjukkan makna sebenarnya dari hari Sabbat. Allah tak pernah istirahat dalam memperlihatkan/menyatakan belas kasih dan cinta-Nya. Jika Ia berhenti berbelaskasih, bagaimana keadaan kita? Entah Sabbat atau bukan hari Sabbat, teruslah melakukan kebaikan dan tetaplah berbelaskasih. Itulah jalan Yesus yang juga harus menjadi jalan kita.