Sabda Hidup
Jumat, 30 Oktober 2020, Jumat Pekan Biasa XXX
“Pada suatu hari Sabat Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin dari orang-orang Farisi untuk makan di situ. Semua yang hadir mengamat-amati Dia dengan saksama. Tiba-tiba datanglah seorang yang sakit busung air berdiri di hadapan-Nya. Lalu Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu, kata-Nya: “Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?” Mereka itu diam semuanya. Lalu Ia memegang tangan orang sakit itu dan menyembuhkannya dan menyuruhnya pergi.”
(Luk 14: 1 – 4).
Membaca kisah Injil hari ini, kita dapat dengan mudah melihat sikap para Farisi, bagaimana mereka menjebak Yesus; menunggu untuk menangkap-Nya melanggar hukum. Tujuan mereka yang sebenarnya adalah menangkap Yesus membuat kesalahan sehingga mereka dapat mendiskreditkan Dia. Mereka memperhatikan Yesus dengan seksama hingga tidak menyadari kehadiran sesamanya yang menderita. “Tiba-tiba datanglah seorang yang sakit busung air berdiri di hadapan-Nya.” Tetapi itu bukan fokus mereka. Mereka terlalu asyik mencari kesalahan Yesus.
Kita pun sering seperti itu, melihat-lihat, mencoba menemukan kesalahan dan menghakimi. Hidup dalam komunitas, dalam keluarga, di Gereja, atau di tempat kita bekerja, di mana setiap orang seharusnya saling berbuat baik, tetapi tidak jarang kita justru saling menilai, saling mengamat-amati untuk menemukan kesalahan ketimbang menemukan hal-hal yang baik dan positif. Setelah menemukan kesalahan, dengan semangat kita wartakan ke seluruh dunia.
Sikap negatif seperti itu menyiratkan dua hal. Pertama, kita berpikir bahwa kita sudah sempurna, kita berada di atas mereka yang membuat kesalahan. Kita berpikir bahwa kita lebih baik dari yang lain, tak pernah salah, selalu benar. Tanpa sadar kita memupuk kesombongan. Kedua, sikap seperti itu justru menjadi indikasi ketidaknyamanan dan inferioritas. Kegembiraan melihat kegagalan dan kelemahan orang lain membuat kita dapat merasa lebih unggul. Dengan kata lain, kita membutuhkan orang lain menjadi lebih buruk dari kita agar kita dapat merasa lebih baik.
Sikap seperti apakah yang Yesus ajarkan? Kita perlu menumbuhkan empati sejati dengan sesama kita. Jika kita benar-benar ingin membantu orang lain, maka kita harus belajar merasakan bersama mereka dalam kemanusiaannya, turut merasakan pergulatan, ketakutan dan kecemasan mereka. Compassio, menderita bersama orang lain, mengandaikan bahwa kita jujur dengan diri sendiri. Kejujuran dengan diri sendiri adalah prasyarat untuk kerendahan hati.
Semoga kita semakin jujur dengan diri sendiri dan semakin rendah hati agar semakin mampu berbelarasa dengan sesama.
“Inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus, penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah,” (Flp 1: 9 – 11).
Bacaan Misa hari ini: Flp. 1:1-11; Mzm. 111:1-2,3-4,5-6; Luk. 14:1-6.