Remah Harian

INCARNATIONAL MISSION

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Kamis 4 Februari 2021, Kamis Pekan Biasa 4

“Ia memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua. Ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat, dan berpesan kepada mereka supaya jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka, kecuali tongkat, rotipun jangan, bekalpun jangan, uang dalam ikat pinggangpun jangan, boleh memakai alas kaki, tetapi jangan memakai dua baju.”

(Mrk 6: 7 – 9)

21 tahun yang lalu, sebagai seorang imam baru, saya bertugas di pedalaman Papua. Umat tinggal di kampung-kampung yang jauh dan tersebar di pelbagai wilayah. Untuk melayani umat maka saya perlu mengadakan perjalanan (biasa kami sebut ‘patroli’) dari kampung ke kampung. Patroli bisa ditempuh dalam waktu 1 atau 2 bulan tergantung pada jumlah kampung yang dikunjungi. Biasanya dengan sepeda motor saya menuju ke salah satu tempat di mana saya bisa tinggalkan sepeda motor, kemudian patroli dilanjutkan dengan jalan kaki. Jarak dari kampung yang satu ke kampung yang lain bisa ditempuh dengan jalan kaki 1 hari penuh. Berangkat jam 6 pagi dan tiba jam 6 sore. Setelah tiba di satu kampung kemudian saya tinggal di situ untuk beberapa hari mengadakan macam-macam pelayanan: misa, katekese, cek sekolah, dsb. Setelah itu, melanjutkan perjalanan menuju kampung yang lain….

Setiap kali mau “patroli” saya selalu membawa begitu banyak perbekalan: beras, supermi, ikan kaleng, bawang merah, bawang putih, garam, gula, kopi, dan masih banyak lagi…… Maklum, saya mau patroli untuk waktu yang cukup lama.

Ternyata perbekalan yang banyak dan beraneka ragam itu menjadi beban berat tersendiri, apalagi harus dipikul, menapaki jalan berlumpur atau jalan setapak naik turun bukit di tengah hutan sambil bergelut dengan lintah-lintah yang menari-nari. Perbekalan yang banyak dan beraneka ragam juga juga mengarahkan perhatian lebih banyak pada persiapan perbekalan tersebut dan bukan persiapan pelayanan pastoral.

Belajar dari pengalaman itu, pada putaran berikutnya dalam kunjungan berkeliling dari kampung ke kampung, saya beritahukan kepada umat setempat bahwa saya tidak membawa bermacam-macam perbekalan lagi. Saya hanya membawa apa yang penting dan perlu, dan soal makanan, saya nikmati apa yang disediakan oleh umat: sagu, ubi, pisang rebus….

Hal lain yang saya pelajari adalah bahwa dengan membawa perbekalan sendiri, justru saya menempatkan diri sebagai “orang lain”, orang asing, yang makanannya berbeda dengan umat. Tetapi dengan makan apa yang mereka makan sehari-hari, saya menjadi bagian dari umat. Secara pastoral lebih menguntungkan.

Seperti para murid yang diutus oleh Yesus, tidak membawa apa-apa dalam perutusan dan menggantungkan diri pada umat tempat di mana para murid diutus, bukan hanya membantu untuk mempercayakan diri pada penyelenggaraan Tuhan. Itu juga merupakan “Incarnational mission”. Misi dengan semangat inkarnasi. Itu adalah semangat misi yang sejati, yang mengedepankan respek terhadap budaya, makanan, bahasa, cara hidup orang/umat di mana saya diutus. Datang dan memaksakan cara saya, budaya dan bahasa saya, itu bukanlah semangat misionaris. Yesus sendiri tidak datang untuk menghapus budaya dan tradisi Yahudi yang kaya; ia mengintegrasikan pewartaan-Nya dengan budaya setempat. Ini menjadi tantangan bagi kita untuk mewartakan Injil dalam konteks di mana kita berada.

Bacaan Misa hari ini: Ibr. 12:18-19,21-24; Mzm. 48:2-3a,3b-4,9,10,11; Mrk. 6:7-13

Author

Write A Comment