Sabda Hidup
Selasa, 1 Maret 2022, Selasa Pekan Biasa VIII
Bacaan: 1Ptr. 1:10-16; Mzm. 98:1,2-3ab,3c-4; Mrk. 10:28-31.
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat….”
(Mrk 10: 29 – 30)
Injil hari ini mengingatkan saya pada hidup imamat saya yang sudah saya jalani selama 21 tahun dan hidup religius yang sudah saya jalani selama 29 tahun. Dan dari pengalaman hidup saya itu, Yesus tidak pernah ingkar janji. Saya dapat mengatakan itu sepenuh hati.
Jika kita perhatikan, para pastor dan biarawan-biarawati (kecuali memang berasal dari keluarga yang kaya raya), pada umumnya mengalami kehidupan yang jauh lebih baik ketika mereka meninggalkan segala-galanya. Tak perlu pikir lagi soal bayar listrik, tak khawatir soal pakaian dan tempat tinggal. Makanan sudah tersedia. Bahkan pulsa juga dibelikan oleh orang-orang yang berbaik-hati. Segalanya dapat dikatakan abundantes divitiae gratiae suae – betapa berlimpah Ia dengan rahmat-Nya! Di sisi lain banyak juga yang berjuang dengan hidup apa adanya di pedalaman, dengan sumber daya dan prasarana yang sangat terbatas namun tetap dengan semangat melayani umat. Apa yang mendorong mereka? Kesetiaan dan cinta Tuhan sendiri. Kepercayaan bahwa Ia setia dengan janji-Nya.
Yesus menghendaki agar setiap orang Kristen memeluk keutamaan hidup miskin dalam Roh Kudus dengan menjalani hidup sederhana dalam harta milik dan penggunaan materi. Terlebih lagi mereka yang secara khusus dipanggil menjadi rasul-rasul-Nya dan para penerusnya dalam imamat dan hidup religius, harus melepaskan segala-galanya, harta, waktu, keluarga, dst, agar mereka dapat dengan sepenuhnya siap sedia bagi siapa saja, seperti Yesus sendiri. Dengan melepaskan segalanya itu justru menjadikan mereka tuan atas segala-galanya. Dengan melepaskan segalanya, mereka tidak lagi menjadi “budak” dari banyak hal dan beban yang menyertainya. Dengan itu mereka dapat menghidupi semangat seperti St Paulus, “sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun memiliki segala sesuatu,” (2 Kor 6: 10).
Mari kita jangan melewatkan kebaikan Tuhan itu. Saya sendiri percaya bahwa Ia begitu murah hati, membebaskan saya dari segala kekhawatiran akan banyak hal dalam hidup, agar saya dapat memberikan diri dengan lebih baik lagi dalam karya dan perutusan. Kesetiaan-Nya harus menjadi dasar bagi kesetiaan kita.